Senin, 09 Januari 2017

TEORI LENGKAP CERPEN


ANALISIS PERBANDINGAN STRUKTURAL CERPEN “SELAMAT JALAN NEK” KARYA DANARTO DAN CERPEN “POHON” KARYA MONAJ DAS
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kemiripan dua cerpen dari penga­rang yang berbeda latar budaya, yakni Indonesia dan India. Sumber data adalah cerpen “Selamat Jalan Nek!” karya Danarto (Indonesia) dan cerpen “Pohon” karya Monaj Das (India). Analisis pem­bandingan dilakukan dengan cara: pembacaan dan pemahaman mendalam, identifi­ka­si titik mirip pada aspek struktural, pembandingan dan penafsiran titik mirip. Hasil pemban­dingan menunjukan bahwa rangkaian peristiwa yang membangun alur dua cerpen tersebut memiliki kemiripan pada awal dan akhir cerita. Cara pengarang menampilkan tokoh-tokoh memiliki kemiripan, khususnya pada aspek fisiologis dan sosiologis tokoh. Tema kedua cer­pen memiliki kemiripan, yakni perten­tangan antara unsur modernitas yang diwakili kaum muda dengan tradisionalitas yang diwakili kaum tua. Oleh karena kedua pengarang tidak saling berinteraksi maka kemiripan yang terjadi lebih disebabkan oleh faktor analogi.
Kata kunci: sastra perbandingan, titik kemiripan, dan analogi
PENDAHULUAN
Karya sastra sebagai cerminan kehidupan masyarakat, merupakan dunia subjektivi­tas yang diciptakan oleh pengarang yang di dalamnya terdapat berbagai aspek kehidupan yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Aspek kehidupan tersebut berupa aspek sosiolologis, psikologis, filsafat, budaya, dan agama. Keberadaan karya sastra tidak dapat dilepaskan dari diri pengarang sebagai bagian dari anggota suatu masyarakat. Sehingga dalam penciptaannya, pengarang tidak dapat terlepas dari lingkungan sosial budaya yang melatarinya.

Sesuatu hal yang mutlak ada pada suatu masyarakat dan sekaligus menunjukkan adanya masyarakat tersebut yaitu kebudayaan. Kebudayaan selalu dikaitkan dengan perilaku akal budi setiap manusia. Sesuai dengan keberadaan akal budi manusia yang bersifat dinamis, maka bentuk kebudayaan yang terdapat pada suatu masyarakat juga akan bergeser sejalan dengan dinamika akal budi manusia dan perkembangan zaman. Di samping itu, dengan semakin terbukanya interaksi antarmasyarakat yang satu dengan yang lainnya maka hal ini juga akan berpengaruh terhadap kedinamisan kebudayaan. Sebagai akibat lebih jauh dari adanya saling interaksi antarmasyarakat, tidak menutup kemungkinan akan membentuk suatu kebudayaaan baru sebagai hasil dari ketepaduan dua atau lebih kebudyaaan.

Kehidupan dunia sastra sebagai bagian dari kebudayaan suatu masyarakat pada gilirannya juga akan mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan kebudayaan masyarakat. Sehingga seperti juga yang terjadi pada kebudayaan. Perkembangan sastra juga akan mengalami saling mempengaruhi antarsastra yang hidup pada masyarakat tertentu, dengan sastra lain di luar masyarakat tersebut. Bentuk keterpengaruhan ini akan beraneka ragam, sesuai dengan tingkat interaksi yang telah dan sedang terjadi.

Pada dasarnya, perkembangan suatu masyarakat yang diwujudkan melalui kebu­dayaan sangat tergantung pada faktor-faktor yang ada pada masyarakat itu sendiri. Salah satu faktor utamanya adalah manusianya. Tingkat pemikiran manusia yang secara langsung maupun tidak langsung terbentuk oleh interaksi dengan alam lingkungannya akan menentukan kedinamisan perkembangan masyarakat tersebut. Sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi perkembangan kebudayaan yang “relatif” sama antara budaya suatu masyarkat dengan budata masyarakat lainnya, walaupun tidak pernah terjadi interaksi. Hal itu dapat terjadi karena faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan kebudayaan yang ada pada masyarakat itu, juga terdapat pada masyarakat yang lainnya dan perkembangan yang dialami relatif sama. Gejala yang demikian ini juga seperti gejala yang di atas, juga terjadi pada dunia sastra. Dalam arti bahwa, karena tingkat perkembangan dan keadaan faktor-faktor yang ada di masyarakatnya mempunyai kedudukan serta kondisi yang sama, maka tidak menutup kemungkinan sastra yang dihasilkan juga relatif sama. Untuk menentukan kedudukan apakah memang gejala seperti di atas sebagai akibat adanya interaksi atau kebetulan, atau kemungkinan lainnya, maka perlu diadakan pengkajian secara mendalam berdasarkan keberadaan masing-masing masyarakat tersebut. Khusus dalam perkembangan dunia sastra, sebagai upaya untuk melihat dan mungkin menentukan gejala-gejala itu, maka dapat ditempuh dengan adanya cabang ilmu sastra perbandingan.

Sastra perbandingan sebagai suatu disiplin ilmu sastra yang baru saja berkembang, masih memerlukan perjalanan yang panjang untuk mencapai kedudukan sebagai ilmu yang mantap. Perjalanan panjang itu masih harus ditempuh karena sampai sekarang masih terdapat perbedaan pendapat di antara para ahli menyikapi keberadaan sastra perbandingan. Keadaan yang demikian ini sebenarnya sekaligus menunjukkan kedinamisan perkembangan sastra perbandingan sebagai sebuah ilmu.

Istilah sastra bandingan dalam praktiknya menyangkut bidang studi dan masalah lain. Pertama kali istilah sastra bandingan dipakai untuk studi sastra lisan, terutama cerita-cerita rakyat dan migrasinya, serta bagaimana cdan kapan cerita rakyat tersebut masuk ke dalam penulisan dunia sastra yang lebih artistik. Meskipun studi sastra lisan mempunyai permasalahan tersendiri (yaitu masalah penyebaran dan latar sosial), permasalahan dasarnya sebenarnya sama dengan sastra tulis. Sehingga ada yang berpendapat bahwa sastra lisan bagian integral dari sastra tulis dan kesinambungan sastra lisan dan sastra tulis tidak pernah terputus. Dengan demikian, maka istilah sastra bandingan bukan istilah yang dikhususkan untuk studi sastra lisan, tetapi juga menyangkut keberadaan sastra tulis.

Kedua, istilah sastra bandingan mencakup studi hubungan antara dua kesusastraan atau lebih. Pendekatan tersebut dipelopori oleh kelompok ilmuwan Perancis yang disebut “comparatites”, dipimpin oleh Fernand Baldensperger. Pada kurun waktu ini, yang nampak dalam studi bandingan yaitu permasalahan metodologinya lebih sekedar mengumpulkan informasi tinjauan buku, terjemahan, dan pengaruh (Rene Wellek dan Austin Warren). Perkembangan selanjutnya masih belum menampakkan adanya kemapanan baik secara teoritis maupun metodologis.

Sastra bandingan, sebagai sebuah disiplin ilmu atau kajian akademik, belum begitu lama mendapat pengakuan dari para ilmuwan. Karena perkembangan yang masih pada tahao permulaan inilah, sangat memungkinkan munculnya pengertian-pengertian dan definisi tentang sastra bandingan yang berbeda-beda dari setiap ilmuwan sastra. Munculnya pengertian-pengertian tersebut disertai dengan landasan acuan yang berbeda pula.

Menurut Henry H. Remark sastra bandingan adalah suatu studi sastra di luar perba­tasan suatu negara tertentu dan studi tentang hubungan-hubungan antara kesusastraan di satu pihak dan bidang-bidang pengetahuan dna kepercayaan di pihak lain. Dari pendapat ini memberikan indikasi bahwa studi sastra bandingan mempunyai cakupan yang sangat luas yaitu, 
  1. perbandingan antara sastra dengan sastra yang lain,
  2. perbandingan antara sastra dengan bidang-bidang lainnya yang merupakan hasil ekspresi manusia (Henry H Remark dalam Elly N Danardono, 1989).
Membandingkan dua karya sastra atau lebvih dari sedikitnya dua negara yang berbeda, termasuk wilayah kajian sastra bandingan (comparative literature). Syarat lain bahwa karya sastra yang akan dibandingkan setidak-tidaknya mempunyai tiga perbedaan yang menyangkut (1) bahasa, (2) wilayah, dan (3) politik. Pendapat ini dikemukakan oleh Maman S. Mahayana dalam makalahnya yang disampaikan pada Seminar Sastra Bandingan di UI, 1990. Dari pendapt tersebut, dengan melihat perbedaan antara dua karya sastra sebagai bahan perbandingan akan menampakkan adanya perbedaan latar belakang sosial budaya (lokasi, tradisi, dan pengaruhnya) yang melingkari diri masing-masing pengarang, yang tercermin pula dalam karyanya. Dari pendapat kedua ilmuwan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam rangka studi perbandingan sastra perlu syarat-syarat yang harus dipenuhi. Syarat tersebut yaitu
  1. cakupan bahasa, 
  2. wilayah, 
  3. politik, dan 
  4. bidang-bidang seni lain.
Robert J. Clements melihat sastra bandingan sebagai disiplin akademis yang memiliki pendekatan yang mencakup aspek (1) tema, (2) jenis/bentuk, (3) gerakan/trend, (4) keterhubungan sastra dengan disiplin dan media seni lain, dan (5) sejarah teori sastra. Selanjutnya, Clements menyebutkan dasar-dasar telaah yang dijadikan sebagai langkah dari perbandingan sastra yaitu, (1) titik tolak genre dfan bentuk, (2) titik tolak periode, aliran, dan pengaruh, dan (3) titik tolak tema dan mitos.

Berdasarkan titik tolak kajian yang disampaikan oleh Clements, para ilmuwan membedakan tiga bentuk hasil kajian sebagai penafsiran, yaitu (1) analogi afinitas, (2) keterpengaruhan, dan (3) faktor kebetulan. Faktor analogi dimungkinkan ada karena beberapa faktor yang sejajar antara lain, yakni (a) seting sosial, (b) dunia tradisi kesusastraan setempat, dan (c) psikologis. Faktor keterpengaruhan diklasifikasikan sebagai (a) pinjaman langsung, (b) pengaruh budaya asal, (c) sastra dalam pengasingan, (d) pengaruh negatif berupa penolakan pengarang terhadap ide tertentu yang datang dari budaya lain, (e) keberuntungan pengarang yang mempengaruhi pengarang lain, (f) pengkianatan kreatif dari para penerjemah maupun editor (Tommy Christomy, 1990:3).

METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini akan diperbandingkan cerpen yang berjudul “Pohon” karya Monaj Das (India) dengan cerpen yang berjudul “Selamat Jalan, Nek” karya Danarto (Indonesia). Cerpen karya Monaj Das termuat dalam kumpulan cerita pendek India yang berjudul Sentuhlah Aku terjemahan Sori Siregar, sedangkan cerpen karya Danart termuat dalam kumpulan cerpen yang berjudul Berhala diterbitkan oleh Pustaka Firdaus (1987).

Secara umum alasan pemilihan bahan kajian ini dikaitkan dengan kondisi yang dialami oleh negara Indonesia dan India. Menurut anggapan atau pendapat umum sering dikatakan bahwa bangsa Indonesia dan India merupakan negara yang termasuk dalam sebutan Dunia Ketiga, sebagai negara yang sampai saat ini dan entah sampai kapan, disebut sebagai negara yang sedang berkembang. Karena kondisi yang relatif sama itulah, tidak menutup kemungkinan berbagai situasi yang ada, tantangan yang dihadapi, perubahan yang terjadi juga menunjukkan kemiripan. Tidak mustahil kondisi semcam itu juga akan berpengaruh terhadap perkembangan dunia sastra, yang dianggap sebagai cerminan sebuah masyarakat. Berdasarkan kenyataan inilah, maka kajian ini mengambil perbandingan dari dua negara yang dalam kondisi relatif sama, sehingga diharapkan dapat melihat lebih jauh hal-hal yang berkaitan dengan keadaan masing-masing, khususnya dalam perkembangan sastranya. Di samping alasan yang bersifat umum, pada pengkajian ini juga didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang bersifat khusus. Pemilihan kedua karya sastra tersebut juga berdasarkan keuniversalan sastra. Artinya, semua karya sastra mempunyai ciri-ciri umum dan juga mempunyai ciri-ciri khusus yang hanya dimiliki oleh karya sastra tersebut.

Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, metode yang digunakan dalam kajian ini yakni metode penelitian kualitatif induktif. Maksudnya, pengkaji berangkat dari pembacaan dan pemahaman naskah karya sastra (cerpen) secara umum, kemudian mengidentifikasi titik mirip atau dengan kata lain pengaji mencoba mendeskripsikan dan melihat kemiripan yang terdapat di antara kedua karya tersebut. Berdasarkan dari data yang diperoleh dari identifikasi tersebut, titik mirip yang ditemukan itu dikaji dengan cara diperbandingkan antara cerpen “Selamat Jalan, Nek..” (Indonesia) dengan cerpen “Pohon” (India). Selanjutnya pengkai menentukan gejala-gejala kemiripan yang tejadi dengan cara penafsiran tersendiri berdasarkan data-data yang mendukung.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Cerpen yang Diperbandingkan 
Melalui cerpen “Selamat Jalan, Nek..”, Danarto mencoba mengungkap permasa­lahan yang sementara ini menjadi bagian dari dinamisasi kehidupan masyarakat, yaitu kecenderungan pertentangan antara alam pikiran (rasionalisme) dengan dunia mistik (irasional) dan antara alam nyata dengan keberadaan alam adikodrati. Bahwa pada satu sisi kehidupan manusia selamanya akan ditemukan sikap rasional dan sikap irasional. Mun­culnya sikap dan sifat yang menurut logika dan rasional, menyimpang dari akal semata-mata, disebabkan oleh adanya kesadaran yang penuh dan keberterimaan yang mutlak pada diri manusia terhadap dzat yang senantiasa menyelimuti dunia semesta ini. kesadaran karena adanya suatu kekuatan yang mahabesar yang berada di luar diri manusia.

KUBURAN ITU MENGANGA!
....... Kuburan Eyang putri yang kami jaga empat puluh hari empat puluh malam, dibongkar maling, dan kain kafan, ya .... kain kafan itu ....

“eyang bakal mati pada malam Selasa Kliwon dini hari, tujuh hari mendatang. Lalu kuburkan cepat-cepat di siang hari. Soalnya sore hari bakal hujan lebat. Sebagian Jakarta bakal menemukan ......

Hal itu semakin jelas menunjukkan bahwa pada satu sisi dari kehidupan manusia sering terjadi peristiwa yang tidak daat dipecahkan dengan sandaran kekuatan logika dan pikiran semata-mata. Paa kondisi tertentu, manusia dipertemukan dengan permasalahan naluriah, di luar kekuasaan manusia. Permasalahan ini yang memberikan tanda-tanda akan adanya “sesuatu” yang melingkupi kehidupan manusia. Permasalahan itu dihadirkan oleh Danarto sebagai potret, cermin dan refleksi perilaku manusia dalam masyarakat di dalam mendinamisasikan budayanya.

Lebih lanjut dipertegas oleh Danarto permasalahan rasionalitas dengan irasional itu dengan menghadirkan tokoh-tokoh yang berdiri pada dua kutub yang berlawanan. Antara sikap rasionalitas generasi muda melalui penampilan peralatan canggih yang berupa kom­pu­ter dengan sikap irasionalitas yang dikaitkan dengan kepercayaan, keyakinan akan suatu pertanda tertentu yang membelenggu pemikiran mistik. Hal itu ditandai dengan kehadiran tokoh Windfield yang ahli komputer dan pertanda kematian yang dikaitkan dengan waktu-waktu khusus. Pada akhirnya sikap rasionalitas yang diwakili komputer ternyata tidak berdaya menghadapi kekuatan di luar indrawi dengan gambaran kuburan Nenek yang dijagai komputer ternyata menganga dan terbuka.

Seperti pada cerpen Danarto, Monaj Das dalam cerpen yang diberi judul “Pohon”, juga ingin mengungkapkan permasalahan yang berkaitan dengan pertentangan antara pemikiran modern dengan pemikiran tradisional. Pada pemikiran tradisional cenderung melihat gejala yang terjadi di alam ini, dikaitkan dengan pertanda adanya kekuatan besar di luar diri manusia. Pada pemikiran modern lebih cenderung mempertimbangkan setiap gejala berdasarkan hasil pemikiran akal dan logika semata.

“Gumpalan awan yang mencekam bergerak melayang berada di atas pegunungan yang berjarak beberapa mil itu dan lingkaran cahaya gaib mengitari bulan telah mengsisyaratkan orang-orang setempat .....

Dedaunan tak henti-hentinya gemeretak .... cabang-cabang pohon dengan dedaunan yang rimbun, merupakan simbol perlindungan kepada mereka sejak dulu yang tidak hanya memberikan .....

Orang-orang yang masih percaya pada pertanda-pertanda yang disajikan alam, selalu menghubungkan pertanda itu dengan sesuatu yang akan menimpa dirinya. Berbeda dengan orang yang sudah berpikiran modern, bahwa sesuatu hal harus dapat dipecahkan dengan nalar dan kekuatan akal pikiran.

Sebagaimana yang dilakukan Danarto, dalam cerpen Monaj Das juga menghadirkan pertentangan antara tokoh yang mewakili sikap rasional dengan tokoh yang mewakili sikap irasional. Tokoh pemuda dan mahasiswa merupakan tokh yang sudah mempunyai tradisi pemikiran modern dengan berdasarkan logika. Para penduduk yang kebanyakan kaum tua, merupakan simbol dari alam pemikiran tradisional, yang melihat gejala alam yang terjadi tidak hanya berdasarkan kekuatan logika. Peristiwa yang terjadi selalu dikaitkan dengan sesuatu fenomena metafisik.

Identifikasi Titik Mirip
Sesuai dengan tujuan kajian, maka kegiatan perbandingan antara dua cerpen tersebut dengan menggunakan analisis perbandingan struktural. Dalam hal ini kajian perbandingan dibatasi pada tiga masalah, yaitu 
  • alur, 
  • penokohan, dan 
  • tema. Kedua karya tersebut diidentifikasi titik miripnya kemudian ditentukan dasarnya mengapa terjadi kemiripan antara karya diperbandingkan.
Plot atau alur merupakan bangun karangan prosa maupun drama yang penting. Peristiwa yang muncul pada plot adalah peristiwa yang disebabkan oleh lakuan tokoh-tokohnya. Plot merupakan pola keterhubungan antarperistiwa didasarkan pada efek kausalitas.

Cerpen “Selamat Jalan, Nek” (SJN) dan “Pohon” (Phn) alurnya disusun secara konvensional, peristiwa disusun sedemikian rupa sehingga mencapai klimaks pada akhir cerita. Urutan peristiwa dibentuk secara espisodik, yaitu disusun berurutan dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Dalam kajian perbandingan ini, bandingan alur kedua karya sastra tersebut tidak dilihat dari segi pengalurannya, tetapi justru dari peristiwa-peristiwa yang membangun alur/plot.

Cerpen SJN diawali dengan penggambaran keadaan yang dikaitkan dengan pertanda alam. Keadaan alam yang dirasakan sebagai suatu pertanda akan terjadinya perubahan peristiwa lain di balik pertanda tersebut. Karena kesadaran penuh terhadap adanya suatu kekuatan di luar diri manusia, maka pertanda itulah yang disadari sebagai titik awal kejadian alam berikutnya dan akan terjadi menurut kepercayaan dan keyakinan masyarakat. Penggambaran pada awal cerita ini, mungkin dimaksudkan oleh pengaran untuk membawa pembaca pada permasalahan intin yang akan ditampilkan dalam cerita tersebut. Pembaca diajak untuk menangkap gejala alam dengan kosekuensi dua sikap yakni rasional dan irasional.

KUBURAN itu menganga!
Dalam keadaan masik terkantuk-kantuk, saya dan empat saudara saya dan seorang bule California, melongok menatap kuburan yang menganga .....

Penyajian peristiwa ini merupakan titik awal untuk memulai alur cerita dalam cerpen SJN. Peristiwa dan kejadian alam sebagai titik awal dalam membangun cerita yang kemudian dirangkaikan denga peristiwa-peristiwa selanjutnya.

Seperti halnya pada cerpen SJN, dalam cerpen Phn penyajian peristiwa sebagai titik awal susunan alur juga diawali dengan menghadirkan suatu peristiwa alam. Suatu gejala alam, yang digambarkan dalam cerita ini mampu mengajak pembaca pada suatu kondisi pemikiran yang secara dikotomis mempertemukan antara sikap rasional dan sikap dan perilaku irasional. Dalam arti bahwa pada suatu kondisi tertentu, dalam menangkap gejala alam yang sedang terjadi manusia dihadapkan pada dua pilihan penentuan sikap. Pada sisi tertentu didasarkan pada kekuatan logika semata dan pada sisi lain harus menggunakan kesadaran akan keterbatasan dan pengakuan terhadap adanya kekuatan di luar diri manusia. Hal itu yang memaksa manusia untuk tidak hanya berpikir mikrokosmos tapi juga berpikir makrokosmos.

“Gumpalan awan yang mencekam bergerak melayang berada di atas pegunungan yang berjarak beberapa mil itu dan lingkaran cahaya gaib mengitari bulan telah mengsisyaratkan orang-orang setempat .....

Peristiwa alam seperti gambaran pada awal cerita ini oleh Monaj Das dijadikan sebagai titik awal penyusunan peristiwa-peristiwa berikutnya untuk membangun struktur alur. Mempercayai bahwa setiap gejala alam yang terjadi tidak selalu dapat diatasi dengan usaha dan pemikiran di bawah alam rasional, tetapi perlu juda adanya sikap yang mistik sebagai bentuk sikap irasional.

Dengan melihat peristiwa yang dihadirkan pada awal cerita dari SJN dan Phn, dapat ditemukan titik mirip yaitu sama-sama menghadirkan peristiwa alam untuk membangun alur cerita. Baik Danarto maupun Monaj Das menyadari suatu fenomena alam dengan penyikapan pada dua sisi. Kemiripan yang terjadi pada dua karya tersebut, mungkin disebabkan oleh kesamaan keinginan untuk merefleksikan keadaan masyarakat masing-masing yang relatif “sama”.

Selanjutnya, peristiwa yang dijadikan sebagai pembangun alur pada klimaks cerita SJN, menghadirkan peristiwa pertentangan antara sikap rasional dan sikap mistik (irasonal). Danarto menggambarkan pertentangan antara kaum muda sebagai simbol rasio dan kaum tua sebagai simbol kekolotan.

“lama-lama, dipikir-pikir, penggunaan komputer Anda kurang tepat”, tiba-tiba seorang Oom menegur saya. Kita sedang menghadapi orang yang akan meninggal dunia, dan mengandalkan sebuah mesin....

Saya dan Winfield sungguh dalam suasana serius”, jawab saya
“okey, tapi komputermu itu malah mengganggu. Kalian tidak memikirkan Eyang, tapi malah justru sibuk dengan perkakas itu ......

Pertentangan antara kaum muda dan tokoh tua ini semakin memberikan gambaran kepada kita bahwa sebenarnya sesuatu hal yang menjadi fenomena alam, tidak selamanya dapat disikapi dengan kekuatan logika dan nalar semata. Pada kondisi tertentu, kekuatan itu akan dihadapkan pada permasalahan metafisis, sehingga pemecahannya tidak dengan pikr tetapi dengan dzikir sebagai wujud hubunan transendental.

Dalam cerita Phn, Monaj Das pada klimaks cerita juga menghadirkan peristiwa pertentangan antara kaum muda dan kaum tua. Kaum muda sebagai simbol modernitas menyikapi gejala alam yang terjadi dengan berdasarkan logika. Di pihak lain, kaum tua menyikapi gejala tersebut dengan mengubungkan pada pertanda alam yang akan terjadi setelah munculnya peristiwa tersebut. Dasar sikap dan perilaku kaum tua adalah kesadaran metafisis dalam kerangka kehidupan semesta.

“Kalau pohon itu rubuh, akan membawa seluruh bongkahan besar itu merosot ke dalam sungai, karena akar-akarnya yang tak terhitung telah menjadikan tanah-tanah ini seperti balok,” ujar seorang anak muda..... Di dusun inilah, hanya mereka bertigalah yang belajar di perguruan tinggi

“Apa? Pohon itu rubuh! Berani benar kau mengatakan itu....? Seberapa jauh pengetahuanmu tentang pohon ini?

Mereka telah membuat tulang di lidahnya,” komentar Ravinda. “Kalian belajar di perguruan tinggi bukan! Nah mari selamatkan pohon ini dengan bahasa Inggrismu, aljabarmu, dan semua abracadabra, “ tentang mereka ..... (hal 93)

Pertentangan terjadi antara pemikiran modern yang diwakili oleh kaum muda (mahasiswa) dengan pemikiran tradisional yang diwakili kaum tua. Bukti bahwa kita memang harus tetap menengok kembali pemikiran dan sikap yang adikodrati (metafisis) digambarkan oleh Monaj Das dalam cerpen Phn melalui tokoh mahasiswa sebagai simbol modernitas, yang ternyata harus gagal untuk menghadapi perilaku masyarakat yang masih tradisional dan cenderung irasional.

Bila diperhatikan peristiwa-peristiwa yang dijadikan bahan untuk membangun alur cerita dalam cerita tersebut, memiliki kemiripan-kemiripan. Pada awal cerita menghadirkan peristiwa alam, dalam klimaks menghadirkan peristiwa pertentangan sikap antara kaum tua dan kaum muda, dan pada akhir cerita peristiwa ketidakberdayaan rasionalitas.

Elemen selanjutnya yang diidentifikasi adalah tokoh-tokoh dalam kedua cerpen tersebut. Tokoh ialah individu yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh-tokoh memiliki sifat tertentu dengan peran yang dilekatkan padanya oleh pengarang. Cara menampilkan tokoh-tokoh dalam karya sastra disebut penokohan.

Dalam kedua karya yang dibandingkan tersebut, pengarang sama-sama menghadirkan tokoh-tokoh yang berdiri di antara dua kutub. Tokoh kaum muda dihadapkan dengan tokoh kaum tua. Kaum muda sebagai simbol pemikiran rasional dan modern sedangkan kaum tua sebagai simbol pemikiran emosional dan tradisional.

Cerpen SJN menghadirkan kuam muda yaitu tokoh “Aku” dan Wienfield dengan keyakinannya pada peralatan canggih berupa komputer. Kaum tua yaitu tokoh “Oom-Oom” dengan pemikiran dan anggapan yang tidak hanya berdasarkan nalar semata, ketika menghadapi gejala alam berupa kematian Nenek.

“Komputer ini tekah mendudukkan Eyang sebagai kelinci percobaan,” cetus seorang Om
“penyelidikan yang bukan main! Gebrak Om Dirjen. “Jauh amat langkah seorang sarjana yang mengatasnamakan ilmunya, rupanya! Anda ingat. Kita semua di sini berhadapan dengan suatu adat istiadat, suatu naluri, suatu moral, suatu tata krama ..... (hal 55)

Bahwa permasalahan yang dihadapi kedua tokoh tersebut disikapi dari dua sisi. Sikap rasionalitas melalui perilaku logika dan sikap emosional yang direfleksikan dengan berhadapan pada suatu tatanan moral, tatanan adat istiadat, serta norma-norma lainnya yang tidak dapat ditangkap hanya dengan menggunakan kekuatan logika semata.

Cerpen Pohon juga menghadirkan tokoh-tokoh yang berada pada dua kondisi yang dikotomis. Kaum muda sebagai simbol modernitas diwakili oleh sekelompok mahasiswa dengan segala bekal ilmu pengetahuannya, sedangkan kaum tua diwakili oleh sebagian penduduk desa dengan ketaatannya pada tatanan norma-norma kepercayaan yang telah mengakar dalam setiap gerak kehidupannya selama ini.

““Kalau pohon itu rubuh, akan membawa seluruh bongkahan besar itu merosot ke dalam sungai, karena akar-akarnya yang tak terhitung telah menjadikan tanah-tanah ini seperti balok,” ujar seorang anak muda kepada temannya .... (hal 93)

“... Baik silakan kerjakan itu demi kasihan kalian kepada kami, demi kasihan kalian kepada empat belas generasi dari nenek moyang kami! Mau bukan! “Yang kumaksud bagaimana menyelamatkan pohon ini agar tidak jadi rubuh?

“... Berjanjilah dengan diucapkan dalam hati saja – biarkan hanya roh pohon itu yang mendengarkan – bahwa kalau pohon itu selamat kalian akan memotong rambut .... (hal 95)

Sikap rasional kaum muda dalam melihat gejala tentang robohnya pohon itu berdasarkan pemikiran ilmu pengetahuan dan logika. Dari dasar ini muncul suatu perkiraan bahwa memang sudah waktunya ‘pohon’ itu rubuh karena tanahnya terkena erosi. Sikap emosional kaum tua melihat gejala ini dikaitkan dengan pertanda zaman yang sudah diyakini akan mendatangkan gejala dan akibat baru yang segera dialami sebagai akibat peristiwa tersebut.

Dari identifikasi tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam kedua cerpen tersebut, ditemukan titik kemiripan. Pada cerpen SJN dihadirkan tokoh aku dan Wienfield dengan peralatan canggihnya berupa komputer, sedangkan dalam cerpen Phn dihadirkan tokoh mahasiswa sebagai simbol moderniitas dan rasionalitas. Selanjutnya, dalam SJN untuk mewakili tokoh yang berpikiran tradisional dihadirkan tokoh Om dengan pemikiran dan tanggapan yang didasarkan pada tatanan norma adat, agama, serta tatanan naluri. Dalam Phn, tokoh tua (kaum tua) yaitu sebagian warga desa, dengan pemikiran yang didasarkan pada keyakinan dan ajaran yang selama ini telah dijadika pedoman dalam hidup bermasyarakat.

Perbandingan Tema berdasarkan Titik Mirip
Setelah diidentifikasi aspek-aspek yang mendukung kesimpulan tema dari kedua cerpen tersebut, selanjutnya akan diperbandingkan hadiln identifikasi untuk menunjukkan adanya kemiripan.

Pada cerpen SJN karya Danarto diawali dengan peristiwa yang menggambarkan peristiwa yang menjadi kepercayaan orang Jawa, tentang pencurian kain kafan. Ini merukan pemikiran irasional orang Jawa tentang adanya hari baik dan hari buruk dalam kehidupan. Dalam cerpen Phn karya Monaj Das juga diawali dengan sebuah gambaran peristiwa irasional, mengenai sikap dan kepercayaan masyarakat India terhadap gejala alam. Kepercayaan masyarakat terhadap suatu peristiwa yang dianggap akan membawa akibat bagi perjalanan kehidupan selanjutnya. Bulan yang dilingkari cahaya ghaib mengisyaratkan bahwa sebentar lagi akan terjadi peristiwa yang mengerikan.

Dari peristiwa yang digambarkan pada awal cerpen tersebut merupakan salah satu bukti adanya kemiripan kedua cerpen dari latar sosial yang berjauhan, yakni Indonesia dan India. Baik Danarto maupun Monaj Das mengawali cerita secara langsung pada pokok masalah tentang adanya pertentangan antara modern dan tradisional, rasional dan irasional. Perkembangan zaman yang membawa perkembangan daya pikir manusia sehingga menghasilkan produk-produk ilmu pengetahuan yang canggig digunakan untuk menjawab segala permasalahan kehidupan.

Dalam hal ini, Danarot mencoba mempertentangkan antara keyakinan yang ada pada orang Jawa tentang hari baik yang dipercaya dan diyakini mendatangkan pengaruh khusus, dengan kecanggihan ilmu pengetahuan seperti komputer. Perkembangan ilmu pengetahuan, yang diharapkan dapat menjawab segala permasalahan kehidupan manusia ternyata pada satu sisi tertentu tak mampu menghadapi fenomena yang berkaitan dengan keberadaan manusia secara naluri. Akibat adanya pemujaan yang berlebih-lebihan terjadap akal pikiran, manusia cenderung mengabaikan apa yang menjadi keyakinan, kesadaran akan keterbatasan, dan selalu mengatasnamakan ilmu untuk mempertimbangkan tuntutan hidup. Segala sikap yang mengarah pada pemuasan keduniawian, yang mengarah pada pemujaan akal dan rasio belaka. Secara ringkas cerpen karya Danarto ini menggambarkan kecenderungan sikap kita (yang disebut sebagai orang modern), yang percaya penuh pada kebenaran ilmu pengetahuan (rasio). Sebaliknya, tidak lagi memperhatikan permasalahan yang justru paling hakiki dari perjalaan hidup manusia, yakni adanya kesadaran mengenai arah setelah akhir perjalanan hidup di dunia. Dalam mencoba menampilkan pertentangan kedua masalah, dalam cerpen ini Danarto menghadirkan dua simbol secara dikotomis. Kepercayaan adanya hari baik yang mengarah kepada kesadaran insani, sebagai wakil dari sudut pemikiran irasional, sedangkan kehadiran komputer sebagai wakil dari pemujaan teknologi dan ilmu pengetahuan.

Dalam menghadirkan permasalahan yang berkaitan dengan penyikapan terhadap perkembangan pemikiran manusia, Monaj Das menampilkan keyakinan yang ada pada masyarakat tradisional India, dengan perkembangan pemikiran yang dialami oleh generasi muda. Keyakinan masyarakat kepada pohon yang merupakan wujud dzat yang satu, sebagaimana kepercayaan orang India yang menganggap bahwa segala sesuatu yang ada di semesta ini sebagai lambang dari Sang Hyang Baka. Oleh karena itu, ketika ‘pohon’ yang menjadi tempat melaksanakan bentuk-bentuk peribadatan ituakan rubuhm secara sungguh-sungguh mereka berusaha untuk mempertahankannya. Sikap yang demikian inilah yang menimbulkan pertentangan dengan sikap kaum muda. Kaum muda beranggapan bahwa sebab-sebab kerubuhan pohon itu dapat diatasi secara nalar. Kaum muda tidak memperhatikan lebih jauh akibat rubuhnya pohon itu, tetapi melihat sebatas pemikiran berdasarkan akal bahwa jika pohon itu rubuh akan berakibat tanah longsor karena erosi. Kaum muda sebagai orang yang telah mengalami zaman baru dengan mengenyam pendidikan dan ilmu pengetahuan mencoba menghadapi gejala yang terjadi berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Secara ringkas cerpen Monaj Das juga ingin menggambarkan sikap dan sifat serta perilaku orang modern yang enggan melihat kembali apa yang terjadi pada masa lalu.

Secara keseluruhan, kedua cerpen ini dikembangkan oleh dua tokoh yang masing-masing mewakili dua kutub, yakni kaum muda dan tua. Dalam SJN kita berhadapan dengan konflik oleh tokah saya dan Om. Di belakang tokoh saya ada tokoh Wienfield sebagai ahli komputer, sedangkan tokoh Om di belakangnya terdapat kesadaran akan keterbatasan manusia. Sementara itu dalam Phn kita berhadapan dengan konflik tokoh Nirakas Das dengan tokoh mahasiswa. Di balik tokoh Nirakas terdapatr pandangan orang tua yang tetap memegang teguh sikap dan kesadaran akan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan, sedangkan di balik mahasiswa terdapat tokh DPR yang memberikan gambaran penguasa baru dalam perkembangan kemasyarakatan.

Perbandinga selanjutnya diarahkan pada sikap pengarang terjadap konflik yang terjadi. Ternyata sikap pengarang dalam kedua cerpen tersebut menunjukkan kemiripan. Danarto bersikap bahwa kira memang perlu tetap memperhatikan gejala kehidupan tidak sebatas pada pemujaan alam rasionalitas semata. Hal ini ditunjukkan oleh Danarto melalui penggambaran ketika komputer sebagai lambang kecanggihan ilmu pengetahuan tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi gejala aneh tentang peristiwa kematian. Dalam cerpennya, Monaj Das juga menunjukkan sikap yang sama melalui penggambaran peristiwa yang dialami oleh mahasiswa yang tidak dapat berbuat banyak saat menghadapi tuntutan masyarakat untuk mencegah rubuhnya pohon tempat pemujaan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kedua cerpen tersebut menunjukkan adanya kemiripan-kemiripan. Kemiripan tersebut antara lain adalah, (1) rangkaian peristiwa yang membangun alur, (2) konflik antartokoh, (3) tema cerita, dan (4) kecenderungan sikap pengarang dalam mengatasi konflik.

Penafsiran Perbandingan
Sebagai tahap akhir kegiatan perbandingan adalah penafsiran hasil perbandingan. Yang dimaksud dengan penafsiran adalah penyikapan peneliti terhadap adanya kemiripan-kemiripan di antara kedua objek kajian. Tuasg dari tahap ini yaitu menjawab pertanyaan, mengapa terjadi kemiripan di antara kedua cerpen tersebut. Penafsiran terhadap hasil bandingan itu harus berdasarkan data-data yang menunjukkan sebab-sebab mengapa terjadi kemiripan. Oleh karena itu, sebelum menafsirkan hasil perbandingan dalam pembahasan ini, perlu diuraikan data dan pertimbangan untuk menentukan kedudukan dari kedua karya tersebut.
  1. bahwa antara Danarto sebagai pengarang cerpen SJN dengan Monaj Das sebagai pengarang Phn tidak terjado kontak secara langsung, sehingga kecil kemungkinan bila keduanya saling mempengaruhi dalam penciptaan karyanya
  2. bahwa kondisi sosial kemasyarakatan yang menyangkut ekonomi, politik, budaya serta berbagai masalah pemerintahan menunjukkan perkembangan dalam taraf yang relatif sama, yakni sebagai kelompok negara yang sedang berkembang.
Dari uraian di atas, pada kajian perbandingan cerpen karya Danarto dan Monaj Das kali ini, kemiripan-kemiripan yang terjadi karena adanya faktor analogi. Hal itu dengan penjelasan karena kondisi sosial kemasyarakatan yang menunjukkan adanya kesamaan taraf perkembangan. Di samping itu adanya kesejajaran dalam beberapa aspek kehidupan, seperti kesejajaran seting sosial, dunia tradisi kesastraan, dan perkembangan psikologis antara Indonesia dan India. Seting sosial yang sama memungkinkan menghasilkan karya yang memiliki kemiripan. Secara psikologis, perkembangan pola pikir dan perilaku yang relatif sama juga memungkinkan menghasilkan bentuk dan substansi ekspresi yang relatif sama. Hal itulah yang mengakibatkan adanya kemungkinan munculnya karya-karya yang memiliki kemiripan pada aspek-aspek tertentu.

SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut ini. Pertama, rangkaian peristiwa yang membangun alur dari masing-masing karya memiliki kemiripan. Kedua, cara pengarang menghadirkan tokoh-tokoh dalam kedua karya tersebut memiliki kemiripan, khususnya pada aspek fisiologis dan sosiologis tokoh. Ketiga, tema yang membangun cerita kedua cerpen memiliki kemiripan, yakni perten­tangan antara unsur modernitas yang diwakili kaum muda dengan tradisionalitas yang diwakili kaum tua. Keempat, berdasarkan fakta dan data yang ada dapat disimpulkan bahwa kemiripan yang terjadi lebih disebabkan oleh faktor analogi.

DAFTAR PUSTAKA
  • Christomy, Tomy SS. 1990. Kumpulan Makalah Seminar Sastra Perbandingan Fakalutas Sastra UI”. Jakarta:FSUI
  • Danarto. 1987. Kumpulan Cerpen Berhala. Jakarta: Pustaka Firdaus
  • Mahayana, Maman S. 1990. “Kumpulan Makalah Seminar Sastra Perbandingan Fakalutas Sastra UI”. Jakarta:FSUI
  • Mulder, Niels. 1985. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan
  • Prasad, Madhusudan (Ed.) 1990. Sentuhlah Aku, Kumpulan Cerita Pendek India Kontemporer. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  • Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Penerbit Gramedia.

OLAH RAGA PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN KABUPATEN JEMBRANA
I Pengetahuan dan Ruang Lingkup Materi
Sebelum menulis cerita pendek siswa hendaknya memiliki pengetahuan dasar tentang pengertian, karakteristik, unsur-unsur pembentuk , antomi, teknik menulis cerita pendek,serta pengetahuan pendukung lainnya. Materi berikut merupakan materi pengembangan dari materi kelas X pada KD 1.2 semester I dan KD 13.1 dan KD 13.2 pada semester II. Yaitu tentang unsur instrinsik dan ekstrinsik dalam prosa fiksi. Sehingga berdasarkan hierarki materi pada Standar Isi dan Silabus, materi tersebut dapat menuntun siswa untuk mencapai kompetensi yang ingin dicapai yaitu menulis cerita pendek berdasarkan pengalaman diri sendiri dan berdasarkan pengalaman orang lain.

1. Pengertian Cerpen
Sebelum kita mulai menulis cerpen, hal pertama yang perlu kita persiapkan adalah pemahaman terhadap cerpen itu sendiri.Baik menyangkut pengertian, karakteristik, isi maupun bentuknya. 

Sebenarnya, tidak ada rumusan yang baku mengenai apa itu cerpen. Kalangan sasterawan memiliki rumusan yang tidak sama. H.B. Jassin –Sang Paus Sastra Indonesia- mengatakan bahwa yang disebut cerita pendek harus memiliki bagian perkenalan, pertikaian, dan penyelesaian.
A. Bakar Hamid dalam tulisan “Pengertian Cerpen” berpendapat bahwa yang disebut cerita pendek itu harus dilihat dari kuantitas, yaitu banyaknya perkataan yang dipakai: antara 500-20.000 kata, adanya satu plot, adanya satu watak, dan adanya satu kesan. Sedangkan Aoh. KH, mendefinisikan bahwa cerpen adalah salah satu ragam fiksi atau cerita rekaan yang sering disebut kisahan prosa pendek. Dan masih banyak sastrawan yang merumuskan definisi cerpen. Rumusan-rumusan tersebut tidak sama persis, juga tidak saling bertentangan satu sama lain.

Hampir semuanya menyepakati pada satu kesimpulan bahwa cerita pendek atau yang biasa disingkat cerpen adalah cerita rekaan yang pendek.Dari beberapa buku dan uraian yang layak dijadikan pedoman, tampaknya pendapat pakar cerita pendek dunia, Edgar Allan Poe, sangat cocok menjadi panduan- karena secara teoritis ia memenuhi kriteria ilmiah, tetapi secara praktis ia dapat diaplikasikan. Pendapat yang dirinci Muhammad Diponegoro dalam bukunya Yuk, Nulis Cerpen Yuk disederhanakan sebagai berikut:Pertama, cerita pendek harus pendek.

Seberapa pendeknya? Sebatas rampung baca sekali duduk menunggu bus atau kereta api, atau sambil antre karcis bioskop. Disamping itu ia juga harus memberi kesan secara terus-menerus hingga kalimat terakhir, berarti cerita pendek harus ketat, tidak mengobral detail, dialog hanya diperlukan untuk menampakkan watak, atau menjalankan cerita atau menampilkan problem. Kedua, cerita pendek mengalir dalam arus untuk menciptakan efek tunggal dan unik.

Menurut Poe ketunggalan pikiran dan aksi bisa dikembangkan lewat satu garis dari awal sampai akhir. Di dalam cerita pendek tak dimungkinkan terjadi aneka peristiwa digresi. Isi cerita pendek harus ketat dan padat. Setiap detil harus mengarus pada pada satu efek saja yang berakhir pada kesan tunggal. Oleh sebab itu ekonomisasi kata dan kalimat – sebagai salah satu ketrampilan yang dituntut bagi seorang cerpenis. Cerita pendek juga harus mampu meyakinkan pembacanya bahwa ceritanya benar-benar terjadi, bukan suatu bikinan, rekaan.

Itulah sebabnya dibutuhkan suatu ketrampilan khusus, adanya konsistensi dari sikap dan gerak tokoh, bahwa mereka benar-benar hidup, sebagaimana manusia yang hidup.Kelima, cerita pendek harus menimbulkan kesan yang selesai, tidak lagi mengusik dan menggoda, karena ceritanya seperti masih berlanjut. Kesan selesai itu benar-benar meyakinkan pembaca, bahwa cerita itu telah tamat, sampai titik akhirnya, tidak ada jalan lain lagi, cerita benar-benar rampung berhenti di situ.

II. Karakteristik Cerpen
Gambaran umum karakteristik cerpen bisa ditangkap dalam rumusan Edgar Alan Poe, di atas. Untuk mempertegas perbedaan cerpen dengan novel, Ismail Marahimin, dalam Menulis Secara Populer menjelaskan bahwa cerpen memang harus pendek dan singkat. Sedangkan cerita rekaan yang panjang adalah novel. Apa ukuran panjang-pendek suatu cerpen itu? Jumlah halamannyakah? Jumlah kata-katanyakah?

Menjawab hal ini, rumusan Poe cukup menjelaskan. Meskipun ada yang berpendapat jumlah katanya tidak lebih dari 10.000 kata (The Liang Gie). Ada yang membatasi jumlah katanya antara 500 – 30.000 kata (Helvy Tiana Rosa).Yang jelas, karakteristik utama cerpen adalah pendek dan singkat. Di dalam cerita yang singkat itu, tentu saja tokoh-tokoh yang memegang peranan tidak banyak jumlahnya, bisa jadi hanya seorang, atau bisa juga sampai sekitar empat orang paling banyak. Itu pun tidak seluruh kepribadian tokoh, atau tokoh-tokoh itu diungkapkan di dalam cerita.

Fokus atau, pusat perhatian, di dalam cerita itu pun hanya satu. Konfliknya pun hanya satu, dan ketika cerita itu dimulai, konflik itu sudah hadir di situ. Tinggal bagaimana menyelesaikan saja.Karena pendeknya, kita biasanya tidaklah menemukan adanya perkembangan di dalam cerita. Tidak ada cabang-cabang cerita.

Tidak ada kelebatan-kelebatan pemikiran tokoh-tokohnya yang melebar ke pelbagai hal dan masalah. Peristiwanya singkat saja. Kepribadian tokoh, atau tokoh-tokoh, pun tidak berkembang, dan kita tidak menyaksikan adanya perubahan nasib tokoh, atau tokoh-tokoh ini ketika cerita berakhir. Dan ketika konfik yang satu itu terselesaikan, kita tidak pula tahu bagaimana kelanjutan kehidupan tokoh, atau tokoh-tokoh, cerita itu.Dan karena jumlah tokoh terbatas, peristiwanya singkat, waktu berlangsungnya tidak begitu lama, kata-kata yang dipakai harus hemat, tepat dan padat, maka –diatara karakteristik cerpen- tempat kejadiannya pun juga terbatas, berkisar 1-3 tempat saja.

Perlu ditegaskan bahwa cerpen bukan penggalan sebuah novel. Bukan pula sebuah novel yang dipersingkat. Cerpen itu adalah sebuah cerita rekaan yang lengkap: tidak ada, tidak perlu, dan harus tidak ada tambahan lain. Cerpen adalah sebuah genre atau jenis, yang berbeda dengan novel.Namun demikian, sebuah cerpen meskipun singkat tetap harus mempunyai tikaian dramatik, atau dalam bahasa The Liang Gie konflik dramatik, yaitu perbenturan kekuatan yang berlawanan. Baik benturan itu terlihat nyata ataupun tersamarkan. Sebab inilah inti suatu cerpen.

III. Unsur-Unsur Dalam Sebuah Cerpen
1. Tema
Tema adalah gagasan inti. Dalam sebuah cerpen, tema bisa disamakan dengan pondasi sebuah bangunan. Tidaklah mungkin mendirikan sebuah bangunan tanpa pondasi. Dengan kata lain tema adalah sebuah ide pokok, pikiran utama sebuah cerpen; pesan atau amanat. Dasar tolak untuk membentuk rangkaian cerita; dasar tolak untuk bercerita.Tidak mungkin sebuah cerita tidak mempunyai ide pokok. Yaitu sesuatu yang hendak disampaikan pengarang kepada para pembacanya. Sesuatu itu biasanya adalah masalah kehidupan, komentar pengarang mengenai kehidupan atau pandangan hidup si pengarang dalam menempuh kehidupan luas ini.

Pengarang tidak dituntut menjelaskan temanya secara gamblang dan final, tetapi ia bisa saja hanya menyampaikan sebuah masalah kehidupan dan akhirnya terserah pembaca untuk menyikapi dan menyelesaikannya. Secara tradisional, tema itu bisa dijelaskan dengan kalimat sederhana, seperti: 
Kejahatan pada akhirnya akan dikalahkan oleh kebaikan. 
Persahabatan sejati adalah setia dalam suka dan duka. 
Cinta adalah energi kehidupan, karena itu cinta dapat mengatasi segala kesulitan. Dan lain sebagainya. 

Cerpen yang baik dan besar biasanya menyajikan berbagai persoalan yang kompleks. Namun, selalu punya pusat tema, yaitu pokok masalah yang mendominasi masalah lainnya dalam cerita itu. Misalnya cerpen “Salju Kapas Putih” karya Satyagraha Hoerip. Cerpen ini melukiskan pengalaman “aku” di negeri asing dengan baik sekali, tetapi secara tajam cerpen ini menyorot masalah moral. Tokoh “aku” dapat bertahan dari godaan berbuat serong karena pertimbangan moral.

2. Alur atau Plot
Alur atau Plot merupakan rangkaian peristiwa yang menggerakkan cerita untuk mencapai efek tertentu. Banyak anggapan keliru mengenai plot. Sementara orang menganggap plot adalah jalan cerita. Dalam pengertian umum, plot adalah suatu permufakatan atau rancangan rahasia guna mencapai tujuan tertentu. 

Rancangan tentang tujuan itu bukanlah plot, akan tetapi semua aktivitas untuk mencapai yang diinginkan itulah plot.Atau, secara lebih gamblang plot adalah –menurut Aswendo Atmowiloto- sebab-akibat yang membuat cerita berjalan dengan irama atau gaya dalam menghadirkan ide dasar.

Semua peristiwa yang terjadi di dalam cerita pendek harus berdasarkan hukum sebab-akibat, sehingga plot jelas tidak mengacu pada jalan cerita, tetapi menghubungkan semua peristiwa. Sehingga Jakob Sumardjo dalam Seluk-beluk Cerita Pendek menjelaskan tentang plot dengan mengatakan, “Contoh populer menerangkan arti plot adalah begini: Raja mati. Itu disebut jalan cerita. Tetapi raja mati karena sakit hati, adalah plot.”Dalam cerpen biasanya digunakan plot ketat artinya bila salah satu kejadian ditiadakan jalan cerita menjadi terganggu dan bisa jadi, tak bisa dipahami.

Adapun jenis plot bisa disederhanakan menjadi tiga jenis, yaitu: 
Plot keras, jika akhir cerita meledak keras di luar dugaan pembaca. Contohnya: cerpen-cerpen Anton Chekov, pengarang Rusia legendaris, cerpen-cerpen Trisnoyuwono yang terkumpul dalam Laki-laki dan Mesiu, cerpen-cerpen Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulannya Kejantanan di Sumbing. 

Plot lembut, jika akhir cerita berupa bisikan, tidak mengejutkan pembaca, namun tetap disampaikan dengan mengesan sehingga seperti terus tergiang di telinga pembaca. Contoh, cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan karya Umar Kayam, cerpen-cerpen Danarto dalam Godlob, dan hampir semua cerpen Guy de Maupassant, pengarang Perancis menggunakan plot berbisik. 

Plot lembut-meledak, atau plot meledak-lembut adalah campuran plot keras dan lembut. Contoh: cerpen Krawang-Bekasi milik Gerson Poyk, cerpen Bulan Mati karya R. Siyaranamual, dan cerpen Putu Wijaya berjudul Topeng bisa dimasukkan di sini.

Adapun jika kita melihat sifatnya, maka ada cerpen dengan plot terbuka, plot tertutup dan cempuran keduanya. Jadi sifat plot ada kalanya;
  1. Terbuka. Jika akhir cerita merangsang pembaca untuk mengembangkan jalan cerita, di samping masalah dasar persoalan. 
  2. Tertutup. Akhir cerita tidak merangsang pembaca untuk meneruskan jalan cerita. Contoh Godlobnya Danarto.3. Campuran keduanya. 
  3. PenokohanYaitu penciptaan citra tokoh dalam cerita. Tokoh harus tampak hidup dan nyata hingga pembaca merasakan kehadirannya. Dalam cerpen modern, berhasil tidaknya sebuah cerpen ditentukan oleh berhasil tidaknya menciptakan citra, watak dan karakter tokoh tersebut. 
Penokohan, yang didalamnya ada perwatakkan sangat penting bagi sebuah cerita, bisa dikatakan ia sebagai mata air kekuatan sebuah cerita pendek.Pada dasarnya sifat tokoh ada dua macam; sifat lahir (rupa, bentuk) dan sifat batin (watak, karakter). Dan sifat tokoh ini bisa diungkapkan dengan berbagai cara, diantaranya melalui: 
  1. Tindakan, ucapan dan pikirannya 
  2. Tempat tokoh tersebut berada 
  3. Benda-benda di sekitar tokoh 
  4. Kesan tokoh lain terhadap dirinya 
  5. Deskripsi langsung secara naratif oleh pengarang 
4. Latar atau Setting
Latar atau setting yaitu segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana dalam suatu cerita. Pada dasarnya, latar mutlak dibutuhkan untuk menggarap tema dan plot cerita, karena latar harus bersatu dengan teman dan plot untuk menghasilkan cerita pendek yang gempal, padat, dan berkualitas. Kalau latar bisa dipindahkan ke mana saja, berarti latar tidak integral dengan tema dan plot. Cerpen saya, Bayi-bayi Tertawa yang mengambil setting khas Palestina, dengan watak, budaya, emosi, kondisi geografi yang sangat khas Palestina tentu akan menjadi lucu jika settingnya dipindah di Ponorogo. Jelas bahwa setting akan sangat menentukan watak dan karakter tokoh.

5.Sudut Pandangan Tokoh
Di antara elemen yang tidak bisa ditinggalkan dalam membangun cerita pendek adalah sudut pandangan tokoh yang dibangun sang pengarang. Sudut pandangan tokoh ini merupakan visi pengarang yang dijelmakan ke dalam pandangan tokoh-tokoh bercerita.

Jadi sudut pangan ini sangat erat dengan teknik bercerita.Sudut pandangan ini ada beberapa jenis, tetapi yang umum adalah:
  • Sudut pandangan orang pertama. Lazim disebut point of view orang pertama. Pengarang menggunakan sudut pandang “aku” atau “saya”. Di sini yang harus diperhatikan adalah pengarang harus netral dengan “aku” dan “saya”nya. 
  • Sudut pandang orang ketiga, biasanya pengarang menggunakan tokoh “ia”, atau “dia”. Atau bisa juga dengan menyebut nama tokohnya; “Aisha”, “Fahri”, dan “Nurul” misalnya. 
  • Sudut pandang campuran, di mana pengarang membaurkan antara pendapat pengarang dan tokoh-tokohnya. Seluruh kejadian dan aktivitas tokoh diberi komentar dan tafsiran, sehingga pembaca mendapat gambaran mengenai tokoh dan kejadian yang diceritakan. Dalam “Sekelumit Nyanyian Sunda” Nasjah Djamin sangat baik menggunakan teknik ini. 
  • Sudut pandangan yang berkuasa adalah teknik yang menggunakan kekuasaan si pengarang untuk menceritakan sesuatu sebagai pencipta. Sudut pandangan yang berkuasa ini membuat cerita sangat informatif. Sudut pandanga ini lebih cocok untuk cerita-cerita bertendens. Para pujangga Balai Pustaka banyak yang menggunakan teknik ini. Jika tidak hati-hati dan piawai sudut pandangan berkuasa akan menjadikan cerpen terasa menggurui. 
IV. Anatomi Cerita Pendek
Setelah mengerti betul definisi cerpen, karakteristik cerpen dan unsur-unsur yang wajib ada dalam membangun cerpen, maka sejatinya Anda sudah sangat siap untuk menciptakan sebuah cerpen. Sebelum menulis cerpen ada baiknya anda mengetahui anatomi cerpen atau bisa juga disebut struktur cerita.

Umumnya anatomi cerpen, apapun temanya, di manapun settingnya, apapun jenis sudut pandangan tokohnya, dan bagaimanapun alurnya memiliki anatomi sebagai berikut:
  1. Situasi (pengarang membuka cerita) 
  2. Peristiwa-peristiwa terjadi 
  3. Peristiwa-peristiwa memuncak 
  4. Klimaks 
  5. Anti Klimaks
Atau, komposisi cerpen, sebagaimana ditandaskan H.B.Jassin dapat dikatakan sebagai berikut: 
  1. Perkenalan 
  2. Pertikaian 
  3. Penyelesaian 
Cerpen yang baik adalah yang memiliki anatomi dan struktur cerita yang seimbang. Kelemahan utama penulis cerpen pemula biasanya di struktur cerita ini. Helvy Tiana Rosa selama menjadi pimred Annida dan melihat kelemahan mereka itu dan berkomentar,“Cerpenis-cerpenis pemula biasanya kurang memperhatikan proporsionalitas struktur cerita. 

Banyak di antara mereka yang berpanjang-panjang ria dalam menulis pembukaan cerpennya. Mereka menceritakan semua, seolah takut para pembaca tak mengerti apa yang akan atau sedang mereka ceritakan. Akibatnya sering satu sampai dua halaman pertama karya mereka masih belum jelas akan menceritakan tentang apa. Hanya pengenalan dan pemaparan yang bertele-tele dan membosankan. Konflik yang seharusnya dibahas dengan lebih jelas, luas dan lengkap, sering malah disinggung sambil lalu saja. Pengakhiran konflik pun dibuat sekedarnya. Tahu-tahu sudah penyelesaian. Padahal inti dari cerpen adalah konflik itu sendiri. Jadi jangan sampai pembukaan cerpen menyamai apalagi sampai menelan konflik tersebut.”

V. Trik Menulis Cerpen Memiliki Daya Pikat
Agar cerpen bisa memikat pembaca, trik-trik berikut ini bisa dipertimbangkan baik-baik: 
  1. Carilah ide cerita yang menarik dan tidak klise. Mengulang ide cerita semisal “Bawang Merah dan Bawang Putih” adalah pilihan yang kurang tepat, karena akan tampak sangat klise dan menjadi tidak menarik pembaca. 
  2. Buatlah lead, paragraf awal dan kalimat penutup cerita yang semenarik mungkin. Alinea awal dan alinea akhir sangat mementukan keberhasilan sebuah cerpen. Alinea awal berfungsi menggiring pembaca untuk menelusuri dan masuk dalam cerita yang dibacanya. Sedangkan kalimat akhir adalah kunci kesan yang disampaikan pengarang. Kunci kesan ini sangat penting, karena cerpen yang memberikan kesan yang mendalam di hati pembacanya, akan selalu dikenang. 
  3. Buat judul cerita yang bagus dan menarik. Sebagaimana buku, cerita yang bagus tidak semuanya dibaca orang. Salah satu penyebabnya adalah kalimat pembuka yang buruk dan judul yang mati, tidak menggugah rasa ingin tahu pembacanya. M. Fauzil Adhim dalam bukunya Dunia Kata menjelaskan beberapa hal yang seyogyanya diperhatikan dalam menulis judul:Pertama, judul sebaiknya singkat dan mudah diingat.Kedua, judul harus mudah diucapkan. Dan yang ketiga, kuat maknanya. 
  4. Perhatikan teknik penceritaan. Teknik yang digunakan pengarang menyangkut penokohan, penyusunan konflik. pembangunan tegangan dan penyajian cerita secara utuh. Jangan sampai pembaca sudah jenuh di awal cerita. Untuk menghindari kejenuhan pembaca di awal cerita bisa kita gunakan teknik:-in medias res (memulai cerita dari tengah)-flash back (sorot balik, penyelaan kronologis)Anton Chekov menyarankan : “Lipat dualah halaman pertama cerpenmu, lalu robek dua dan buang sobekan yang sebelah atas.” 
  5. Buatlah suspense, kejutan-kejutan yang muncul tiba-tiba (bedakan dengan faktor kebetulan), jangan terjebak pada cerita yang bertele-tele dan mudah ditebak. 
  6. Cerpen harus mengandung kebenaran, keterharuan dan keindahan. Elizabeth Jolley, mengatakan, “Saya berhati-hati agar tidak membuat kesalahan. Sungai saya tidak pernah mengalir ke hulu.”Gabriel Garcia Marquez, sastrawan besar dari Kolumbia yang meraih novel itu berkata, “Pujian terbesar untuk karya saya tertuju kepada imajinasi, padahal tidak satu pun baris dalam semua karya saya yang tidak berpijak pada kenyataan.” 
  7. Ingat bahwa setiap pengarang mempunyai gaya khas. Pakailah gaya sendiri, jangan meniru. Gunakan bahasa yang komunikatif. Hindari gaya berlebihan dan kata-kata yang terlalu muluk. 
  8. Perhatikan setiap tanda baca dan aturan berbahasa yang baik, tetapi tetap tidak kaku. Jangan bosan untuk membaca dan mengedit ulang cerpen yang telah anda selesaikan.Akhirnya, saat Anda berniat menggoreskan pena menulis cerpen ingatlah pesan J.K. Rowling, siapa tahu ada manfaatnya. 
Setelah membaca teori tentang cerpen tersebut, langkah selanjutnya adalah mulailah menulis cerpen dari apa saja yang kamu tahu. Menulislah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri atau memanfaatkan pengalaman yang dialami oleh teman atau orang lain. Lalu saat menulis cerpen ingat pesan Edgar Allan Poe, agar cerpenmu berbobot, Dalam cerpen tak boleh ada satu kata pun yang terbuang percuma, harus punya fungsi, tujuan dalam komposisi keseluruhan.

Selamat menulis cerpen!
VI. Manfaat Menulis Cerita Pendek
Siapapun pasti merasa bangga jika cerpennya dimuat di majalah atau surat kabar terkenal. Kebanggaan itu memiliki alasan yang jelas, selain menunjukkan prestasi kerja juga karena disebabkan bahwa kita telah menjadi bagian dari komunitas penulis yang tidak semua orang sanggup melakukannya. 

Menulis cerpen memberi kita banyak keuntungan, mulai dari diberi ucapan selamat dari teman-temannya, diberi predikat baru sebagai “sastrawan”, mendapat honorarium, dan mungkin bagi siswa, guru Bahasa Indonesianya memberikan “bonus” nilai serta penghargaan lain yang mengaggumkan.. 

VII Motivasi Menulis Cerpen
Menulis cerpen juga seperti kita bekerja harus memiliki tujuan. Nah untuk mewujudkan tujuan itu dengan mudah biasanya seseorang membutuhkan tips atau kiat yang efektif dalam usahanya mewujudkan tujuan-tujuannya. Berikut adalah beberapa tips dalam menulis cerita pendek.
1. Menulis Harus Ada Minat
Arswendo Atmowiloto mengatakan bahwa menulis itu gampang asalkan ada minat dan keinginan yang kuat untuk menjadi seorang penulis. Ada gairah yang menggebu-gebu untuk menulis. Gairah ini akan mengantarkan kita pada semangat ‘saya pasti bisa’. Tanpa itu, hanya akan melahirkan seorang penulis iseng yang se-ala kadarnya saja.

2. Rajinlah Membaca.
Seringkali kita membaca buku hanya pada saat menjelang ujian (sekedar untuk kepentingan merebut nilai tinggi). Membaca, hanya sekedar menghafal. Membaca yang dimaksud di sini adalah benar-benar untuk mengerti, memahami dan menikmati isi buku. Jika anda ingin menjadi seorang kolomnis maka banyaklah membaca opini di media massa. Jika anda ingin menjadi seorang novelis atau cerpenis maka banyaklah membaca novel dan cerpen yang memungkinkan anda cerna, menikmati dan meniru isinya. Agar bisa menulis, usahakanlah banyak membaca. Hanya perlu dicatat, mulailah dengan membaca sesuatu yang mudah dimengerti dan sesuaikan dengan jenis tulisan apa yang ingin anda tekuni.

Misalnya anda ingin menjadi seorang cerpenis remaja. Maka banyaklah membaca cerpen-cerpen remaja di majalah remaja maupun di dalam buku kumpulan cerpen. Perhatikan bagaimana cara penulisannya dari awal hingga akhir dan bagaimana penulisnya mengelola konflik remaja dalam bentuk cerita menarik. Karya orang lain penting untuk dijadikan referensi bagi seorang pemula.

3. Mulailah Dengan menulis Cerpen Singkat.
Banyak orang yang mengeluh, bahwa ia sudah banyak membaca novel dan cerpen tetapi tidak juga bisa menulis sebuah cerpenpun. Ada juga yang mengatakan apabila ia paling pandai bercerita lisan kepada temannya namun amat sulit menuangkan ke dalam bentuk tulisan.

Mulailah dengan menulis cerpen yang singkat dan semanpu anda menulisnya. Sebaiknya tidak usah dulu mengacu pada standar penulisan cerpen di majalah atau ketentuan dalan lomba. Semakin sering mencoba menulis cerpen, dengan gaya seperti apapun, kita akan semakin terbiasa dan menguasai teknik menulis cerpen. Apalagi diringi dengan membaca dan meminta bimbingan khusus dari seseorang yang sudah mahir menulis.

4. Latihan dengan teknik “Copy the Master”
Cara ini adalah dengan meniru gaya penulisan seorang master. Ingat yang akan kita tiru adalah gaya penulisannya bukan isi. Karena jika kita mengkopi isinya kita akan dikatakan sebagai seorang plagiat. Ingatlah bahwa ini hanya untuk latihan saja, sampai kita benar-benar bisa menulis secara mandiri.

Pertama-tama kita pilih dulu tulisan orang lain yang kita anggap menarik dan sesuai dengan kemampuan kita. Misalnya sebuah cerpen yang berjudul Guru karya Putu Wijaya. Kemudian kita tiru gaya sang maestro tersebut, mulailah dari judulnya kalau Putu Wijaya memilih judul “Guru” kita bisa memilih profesi yang lain misalnya “Petani, Pelaut, Pilot “ dan lain sebagainya. Langkah berikutnya bacalah karya master kita secara utuh. Perhatikan dengan seksama cara maestro kita membuka ceritanya. Bagian pembuka adalah bagian terpenting yang patut kita pelajari atau kita tiru. Ingatlah bagian tersulit dari menulis bagi pemula adalah bagaimana memulainya. Sedangkan bagi seorang penulis handal bagina tersulit adalah bagaimana mengakhirinya. Nah sebagai latihan, tirulah gaya sang maestro memulai ceritanya.

Setelah mampu membuat paragraf pembuka cerita pelajarilah teknik sang maestro menghadirkan karakter dan tokohnya. Hal yang perlu kita pelajari dan tiru di sini adalah teknik mengadirkan dialog antar tokoh dan ketokohannya sesuai dengan karakternya. Karakter tokoh biasanya dipengaruhi oleh pendidikan tokoh, latar belakang budaya, latar belakang sosial-ekonomi, politik , suasana dan tempat. Tokoh dengan nama Kompyang yang berasal dari Bali, berbeda karakternya dengan tokoh Matias yang berasal dari Papua. Ingat untuk menghadirkan tokoh yang kuat, kita harus memiliki wawasan yang cukup tentang latar budaya, sosial, dan lain sebaginya. Untuk itu kita perlu membaca referensi seperti buku sosiologi atau lingkup budaya sang tokoh. Semakin banyak referensi yang kita miliki maka semakin kompleks pula karakter tokoh yang bisa kita hadirkan.

Bila kita sudah mampu mengembangkan paragraf pembuka secara baik, pastikan bahwa cerita kita memiliki alur yang jelas sehingga komplik cerita dapat dilukiskan secara tegas. Buatlah skema alur. Rumuskanlah apa penyebab konfliknya, bagaimana komplik itu terjadi dan bagaimana penyelesaiannya. 

VII. Faktor kunci dalam menulis cerpen
1. Memamanajemen Peristiwa, Tokoh, Konflik 
Ciri utama sebuah cerita adalah dikemas dalam bentuk narasi. Narasi didasarkan pada satu kesatuan urutan kejadian atau peristiwa. Dalam kejadian-kejadian tersebut terdapat tokoh. Tokoh-tokoh tersebut menghadapi serangkaian konflik atau pertikaian. Pada prinsipnya urutan peristiwa, tokoh, dan konflik merupakan unsur pokok sebuah narasi. Kesatuan dari urutan peristiwa, tokoh, dan konflik itulah yang sering disebut alur atau plot.

Peristiwa dalam narasi bisa berupa fakta, bisa pula rekaan /fiktif. Narasi yang berisi fakta antara lain biografi (riwayat hidup seseorang), otobiografi (riwayat hidup seseorang yang ditulisnya sendiri. Narasi yang berisi fiksi atau rekaan antara lain novel, cerita pendek, cerita bersambung, atau cerita bergambar. Plot atau alur dalam sebua narasi dapat berupa alur tunggal, dapat pula terdiri dari alur utama dan beberapa buah alur tambahan atau sub-plot. 

Cerita yang kita buat akan memiliki karakter jika kita berhasil menghadirkan tokoh dengan karakter yang kuat dalam cerita sepanjang alur cerita. Kuat lemahnya karakter tokoh dalam cerita biasanya terlihat ketika dihadapkan pada konflik cerita. 

2. Latar dan Warna 
Alur cerita (kejadian, konflik, dan tokoh) tentu saja tidak terjadi dari kekosongan (vacuum). Pasti peristiwa tersebut terjadi pada waktu tertentu dan di tempat tertentu. Maka alur terikat pada latar waktu dan latar tempat. Latar tempat dan latar waktu membutuhkan kekhususan dan ketajaman deskripsi yang menunjukkan pada pembaca bahwa waktu dan tempat kejadian tersebut benar-bena khas sehingga cerita tidak daat dipindahkan secara sembarangan karena kekhasan tersebut memberikan nilai tertentu. Inilah yang disebut sebagai warna lokal dalam cerita. Warna lokal ini diciptakan dengan memberikan deskripsi yang teliti tentang lokasi, benda-benda, tokoh-tokoh serta kebiasaan-kebiasaan setempat, dialog tokoh-tokohnya yang mengandung dialek-dialek tertentu 

3. Kerangka (Kisi-kisi Alur)
Kerangka atau kisi-kisi alur sangat penting untuk dibuat sebelum kita menulis cerpen. Kisi-kisi alur ini digunakan untk menjaga agar dalam cerita yang akan kita buat tidak terjadi anakronisme, yaitu peristiwa yang salah waktu dan tempatnya. Di samping itu, kisi-kisi ini juga berguna untuk mempertahankan cerita agar dalam pengembangannya cerita tetap terfokus pada konflik yang direncanakan, tidak melantur ke mana-mana. 

Posisi ”Kita”Dalam sebuah narasi tentu saja ada yang bercerita, yang menceritakan kepada kita apa saja yang terjadi. De fakto yang bercerita adalah penulis cerita itu. Penulis cerita dalam bercerita dapat mengambil posisi sebagai orang di luar cerita yang menceritakan segala sesuatu yang dilihat dan didengarnya. Atau, bisa pula penulis mengambil posisi seolah-olah ia berada di dalam cerita tersebut. Ia ikut menjadi salahsatu tokoh dalam cerita yang dibuatnya itu.Pengambilan posisi diri ini sangat mempengaruhi cerita yang akan dibuatnya. Maka, diperlukan pertimbangan matang untuk memilih gaya pertama, atau gaya kedua sehingga nantinya terdapat konsistensi dalam bercerita. 

4. Percakapan (Dialog)
Sebenarnya tidak ada aturan baku yang mengatur seberapa besar porsi dialog dalam sebuah cerita. Artinya, boleh saja sebuah cerpen sejak awal sampai akhir isinya dialog antartokoh. Porsi deskripsi latar dan peristiwanya dibuat seminimal mungkin. Namun, boleh juga sebuah cerpen hanya terdiri dari deskripsi semua, tidak ada dialog sama sekali.Hanya, rasa-rasanya akan menjadi cerpen yang tidak enak dibaca ketika tidak terdapat keseimbangan antara dialog dan deskripsi latar. 

IX Mencari ilham dan ispirasi cerita pendek
Setiap orang pasti pernah mendapat masalah dan setiap masalah tersebut pastilah ada kronologisnya (memiliki alur). Nah semua masalah tersebut termasuk yang kita alami sebenarnya merupakan sumber inspirasi. Yang pasti, nyaris semua pengarang pernah menulis cerpen berdasarkan kisah nyata, baik itu pengalaman pribadi maupun pengalaman orang lain atau kejadian tertentu yang dilihat oleh si pengarang. 

Supaya cerita kita menarik, lakukalah rekayasa dratikal cerita sehingga apa yang kita tulis idenya tetap riil. Rekayasa dramatik dalam cerita penting artinya supaya cerpen yang kita buat isinya tidak sama persis dengan kisah nyatanya. Artinya dengan melakukan rekayasa kisah nyata, imajinasi dan logika bersastra kita akan tumbuh sehingga secara perlahan wawasan sastra kita akan tumbuh dan berkembang pula. Ini merupakan bagian terpenting yang harus dilakukan oleh seorang calon pengarang. Semakin tinggi kemampuan kita merekayasa kisah-kisah nyata, akan semakin tajam pula intuisi kita dalam membentuk kualitas cerita yang kita buat.

Ingatlah sekali lagi bahwa kisah nyata hanyalah sebuah IDE. Sebagai ide, kita bebas mengembangkannya. Mau kita ubah ceritanya, ditambahi, dikurangi, dan seterusnya, semua terserah kita. Tak ada yang melarang. Toh kisah nyata itu bukan sebuah sejarah, hanya peristiwa sehari-hari yang biasa.

Untuk mengubah ataupun merekayasa kisah nyata menjadi cerpen,, kita dapat menempuh langkah-langkah sebagai berikut:
  1. Carilah bagian dari kisah nyata itu yang kita anggap menarik. Bagian yang kurang menarik, atau tidak menarik sama sekali, lupakan saja.
  2. Galilah bagian yang menarik tersebut, lalu kembangkan ceritanya sesuai keinginan kita.
  3. Kalau perlu, carilah sudut pandang yang unik, agar ceritanya menjadi lebih bagus.
Setelah itu, kita bisa langsung menulis cerpennya. Saat menulis ini, kita sudah boleh membuang jauh-jauh si kisah nyata tersebut. Lupakan saja. Toh kita sudah punya modal berupa ke-3 poin di atas.

Yang juga penting, jangan merasa "terbebani" oleh hal-hal yang melekat pada kisah nyata tersebut, sebab kita bisa mengubah semuanya sesuka kita. Sebagai contoh, si pelaku pada kisah nyata adalah seorang pria. Ketika diubah jadi cerpen, jenis kelaminnya kita ubah jadi wanita. Atau, kisah nyata ini terjadi di Jakarta, tapi pada cerpennya diubah menjadi New York. Dan seterusnya. Ini semua boleh-boleh saja. Asalkan cerita yang kita buat tetap logis (masuk akal) dan menarik.

Uji Kompetensi 
KD 16.1 Menulis cerpen berdasarkan kehidupan diri sendiri
  1. Tulislah sebuah cerpen dengan menggunakan teknik Copy the Master
  2. Gunakanlah master yang telah kalian pilih berdasarkan instruksi dari penugasan guru pada pertemuan sebelumnya.
  3. Tulislah cerpen dengan memperhatikan langkah-langkah berikut.
Langkah –langkah
  1. Bacalah master tersebut antara dua sampai dengan empat kali
  2. Pelajari teknik pengarang membuka cerita dengan seksama dan cobalah membuat paragraf pembuka cerita dengan cara yang sama dengan setting yang berbeda.
  3. Gantilah nama-nama tokoh cerita dan karakternya.
  4. Gantilah setting ceritanya sesuai dengan latar budaya dan karakteristik para tokoh. 
  5. Perhatikan secara cermat tata cara penulisan dialog antar tokoh dalam cerita
  6. Pelajari cara pengarang mengakhir cerita.
  7. Mulailah berlatih untuk mengembangkan cerita.
  8. Minta komentar orang lain atau teman untuk mendapatkan masukan atau koreksi
  9. Lakukan perbaikan atau revisi berdasarkan masukan dari guru atau orang lain.
  10. Minta komentar teman atau orang lain sekali lagi
  11. Lakukan pebaikan untuk kedua kalinya
  12. Naskah cerita selesai dikumpulkan untuk mendapatkan penilaian dari guru. 
Uji Kompetensi 2
KD.16.2 Menulis cerpen berdasarkan pengalaman orang lain
Menulis cerpen dengan teknik stimulans paragraf pembuka 
  1. Tulislah sebuah cerpen dengan teknik melanjutkan paragraf pembuka cerita pada lembar portofolio siswa
  2. Panjang cerpen dalam uji kompetensi tersebut antara 1500 sampai dengan 3000 kata.
  3. Tulislah cerpen dengan memperhatikan langkah-langkah berikut.
Arswendo Atmowiloto pernah menagtrakan bahwa menulis itu gampang, sepanjang mereka yang ingin belajar menulis memiliki minat dan ketekunan melakukan latihan untuk menjadi terbiasa. Apabila seseorang telah terbiasa, maka dipastikan ia akan bisa menulis seperti yang diinginkannya. Begitu juga dengan kegiatan menulis cerita pendek. Diperlukan pembiasaan melalui latihan-latihan yang inten. Tentu saja sebelum bisa menulis cerpen, diperlukan adanya pengalaman nyata dalam hal membaca karya-karya cerita pendek dari orang lain. Tanpa pengalaman membaca cerita pendek yang cukup, dapat dipastikan kita akan mendapat kesulitan menulis cerita.

Bagi mereka yang ingin menjadi novelis besar, tak ada salahnya jika memulai karir dengan menulis cerpen terlebih dahulu. Salah satu model pembelajaran yang cukup efektif untuk membiasakan diri menulis cerita pendek adalah dengan menggunakan teknis pemberian stimulans paragraf pembuka cerita.

Langkah-langkah model pembelajaran menulis cerpen dengan teknis pemberian stimulant adalah sebagai berikut.
  1. Baca dan pahamilah paragraf pembuka cerita narasi pada lembar portofolio kalian masing-masing.
  2. Kembangkan alur cerita tersebut dengan membuat peta konsep alur cerita sesuai dengan logika dan imajinasi masing-masing.
  3. Kembangkanlah cerita dengan bahasa yang kita produksi sendiri.
  4. Perhatikan teknik penulisan dialognya, tanda baca dan deskripsi pengalihan dialog antar tokoh-tokohny
  5. Pastikan bahwa ada kesusuaian antara judul dan isi cerita.
  6. Setelah selesai mintalah komentar dari guru, teman atau orang lain untuk mendapatkan masukan dan koreksi.
  7. Lakukan perbaikan-perbaikan yang diperlukan atas petunjuk guru atau teman.
  8. Mintalah pendapat, komentar atau kritikan sekali lagi dari teman sejawat, guru atau orang lain. 
  9. Lakukan perbaikan sekali lagi. Jika hal ini dapat dilakukan secara benar dapat dipastikan bahwa cerpen kita layak untuk dibaca oleh publik.
  10. Kumpulkan cerpen yang sudah selesai sesuai batas waktu yang ditetapkan guru untuk mendapatkan penilaian.
Daftar Pustaka
  1. A.Teew.1988. Teori dan Ilmu Sastra.Jakarta. Dunia Pustaka Jaya
  2. Ahmadi, Mukhsin, 1991. Paragraf serta Penciptaan Gaya Bahasa, Malang. YA3.
  3. Marahimin, Ismail. 2001. Menulis Secara Populer. Jakarta: Dunia Pustaka.
  4. Minderop, Albertine.2005. Metode Karakteristik Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
  5. Nurgiyantoro, Burhan.1988. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra.Yogyakarta: BPFE.
  6. Nursito.2000. Penuntun Mengarang.Yogyakarta. Adi Cipta Karya Nusa
  7. Nurgiyantoro,Burhan. 2007. Teori Pengkajian Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada Press
  8. Surana. 2002. Pengantar Sastra Indonesia. Solo: PT. Tiga Serangkai Pust. Mandiri. 
  9. Sareb Putra, R.Masri.2010. Principles of Creative Writing.Jakarta PT.Index.
  10. Sudirtha, I Wayan. 2006. Menulis Deskripsi dengan Metode Copy the Master pada Siswa Kelas X TMO SMK Negeri 2 Negara tahun 2006. PTK Blok Greent.
  11. Sudirtha, I Wayan. 2009. Menulis Cerpen dengan Teknik Stimulans Paragraf Pembuka Cerita Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Negara tahun 2009. PTK
  12. Zuhri, Amirudin.2008. Sukses Menjadi Penulis Independen. Yogyakarta. Genius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar