Senin, 09 Januari 2017

TEORI LENGKAP SASTRA

Kuntowijoyo Sastrawan Profetik
Sastra profetik adalah sastra yang berjiwa transendental dan sufistik karena berangkat dari nilai-nilai ketauhidan, tetapi yang setelah itu juga memiliki semangat untuk terlibat dalam mengubah sejarah kemanusiaan yang karena itu memiliki semangat kenabian. Sebagai aliran di dalam tradisi intelektual Islam, sastra sufistik dapat disebut juga sebagai sastra transendental karena pengalaman yang dipaparkan penulisnya ialah pengalaman transendental, seperti ekstase, kerinduan, dan persatuan mistikal dengan Yang Transenden. Pengalaman ini berada di atas pengalaman keseharian dan bersifat supralogis (Hadi, 1999:23). 

Sastra transendental memang telah memiliki perjalanannya sendiri yang panjang. Dua contoh sastrawan Islam yang menulis secara sufistik dan transendental adalah Jalaluddin Rumi dan Muhammad Iqbal.

Jalaluddin Rumi (1207-1273) adalah penyair dari Persia yang terkenal sebagai sastrawan yang mendalami tasawuf. Salah satu karya Jalaluddin Rumi adalah Diwan-i Syams Tabriz yang berupa 33.000 bait puisi berbentuk lirik. Puisi-puisi ini pada awalnya adalah lontaran spontan yang muncul dari mulut Jalaluddin Rumi ketika ia berada dalam situasi ekstase. Lontaran-lontaran itu kemudian dicatat oleh para muridnya yang mengelilinginya. Puisi-puisi dalam Diwan-i Syams Tabriz ini berisi renungan-renungan ilahiyah dan persatuan mistikal.

Muhammad Iqbal (1873-1938) dari Pakistan merupakan sosok lain dari sastrawan transendental dalam tradisi sastra Islam. Puisinya menampakkan kekentalan permenungan filsafat, ini tampak di antaranya dalam kumpulan puisinya yang berjudul Asrar-i Khudi. Muhammad Iqbal juga adalah pengagum Jalaluddin Rumi dan menganggap Jalaluddin Rumi sebagai guru spiritualnya.

Dalam sastra Indonesia modern, warna transendental juga banyak ditemukan. Karya-karya Amir Hamzah merupakan contoh sastra transendental yang berbobot dari tradisi sastra Angkatan Pujangga Baru. Chairil Anwar pelopor Angkatan 45 pun juga menulis puisi transendental, misalnya puisi “Kepada Peminta-minta”. Dalam tradisi yang lebih baru, sastrawan-sastrawan yang menulis tema transendental banyak bermunculan. Di antara mereka itu adalah Abdul Hadi W.M., Sutardji Calzoum Bachri, Kuntowijoyo, K.H. Mustofa Bisri, dan kemudian diikuti pula oleh yang lebih muda dari mereka, seperti Mustofa W. Hasyim, Mathori A. Elwa, Amien Wangsitalaja, Acep Zamzam Noor, Abidah el Khalieqy.

Kuntowijoyo, lahir 18 September 1943, merupakan sastrawan Indonesia yang dapat digolongkan sebagai penulis sastra transendental ini. Sastra bagi Kuntowijoyo harus mampu memberikan keseimbangan antara tema sosial dan tema spiritual, antara pelibatan diri dalam persoalan kemanusiaan dengan kesuntukan beribadah, antara yang bersifat dunyawiyah dan ukhrawiyah, antara aktivisme sejarah dengan pengalaman religius. 

Kuntowijoyo mendasarkan perumusan sastra profetik (dan profetisitas secara umum) kepada Al Quran surah Ali Imran: 3. Bagi Kunto (1997), ada empat hal tersirat dari ayat ketiga surah Ali Imran ini, yaitu (1) konsep tentang umat terbaik, (2) aktivisme sejarah, (3) pentingnya kesadaran, dan (4) etik profetik.

Pertama, konsep tentang umat terbaik (the choosen people). Umat Islam akan menjadi umat terbaik (khaira ummah) dengan syarat mengerjakan tiga hal sebagaimana disebut oleh ayat tersebut. Jadi, sebuah umat tidak akan secara otomatis menjadi the choosen people. Konsep the choosen people dalam Islam ini berbeda dengan konsep the choosen people dari Yudaisme. Konsep Yudaisme menyebabkan rasialisme, sedangkan konsep umat terbaik dari Islam justru berupa sebuah tantangan untuk bekerja lebih keras ke arah aktivisme sejarah. 

Kedua, aktivisme sejarah. Bekerja di tengah-tengah manusia (ukhrijat li an nas) berarti bahwa yang ideal bagi Islam ialah keterlibatan umat dalam sejarah. Wadat (tidak kawin), uzlah (mengasingkan diri), dan kerahiban tidak dibenarkan. Demikian pula gerakan mistik yang berlebihan yang melupakan keduniaan bukanlah kehendak Islam, karena Islam adalah agama amal. 

Ketiga, pentingnya kesadaran. Nilai-nilai Ilahiyah menjadi tumpuan aktivisme Islam. Peranan kesadaran ini membedakan etik Islam dari etik materialistis. Pandangan kaum Marxis bahwa superstruktur (kesadaran) ditentukan oleh struktur (basis sosial, kondisi material) bertentangan dengan pandangan Islam tentang independensi kesadaran. Demikian pula, pandangan yang selalu mengembalikan pada individu (individualisme, eksistensialisme, liberalisme, kapitalisme) bertentangan dengan Islam, karena yang menentukan bentuk kesadaran bukan individu tetapi Tuhan. Demikian juga segala bentuk sekularisme, ia bertentangan dengan kesadaran Ilahiyah. 

Keempat, etika profetik. Ayat ini berlaku umum, untuk siapa saja, baik individu (orang awam, ahli, superahli), lembaga (ilmu, universitas, ormas, orsospol), maupun kolektivitas (jamaah, umat, kelompok masyarakat). Semua diharuskan untuk mengamalkan ayat ini, yaitu amar ma’ruf (menyuruh kebaikan), nahyi munkar (mencegah kejelekan), dan iman (tu’minuna) bi Allah (beriman kepada Allah). Ketiga hal ini adalah unsur yang tak terpisahkan dari etik profetik. 

Asal-usul pikiran tentang etik profetik ini, menurut Kuntowijoyo, bisa ditelusuri dalam tulisan-tulisan Iqbal dan Roger Garaudy. Dalam Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, Iqbal mengungkapkan kembali kata-kata seorang sufi bahwa Nabi Muhammad SAW telah sampai ke tempat paling tinggi yang menjadi dambaan ahli mistik (dalam peristiwa Isra Mi’raj), tetapi ia kembali ke dunia untuk menunaikan tugas-tugas kerasulannya. Pengalaman keagamaan yang luar biasa itu tidak mampu menggoda Nabi untuk berhenti. Akan tetapi, ia menjadikannya sebagai kekuatan psikologis untuk perubahan kemanusiaan. Dengan kata lain, pengalaman religius itu justru menjadi dasar keterlibatannya dalam sejarah, sebuah aktivisme sejarah. Sunnah Nabi berbeda dengan jalan seorang mistikus yang puas dengan pencapaiannya sendiri. Sunnah Nabi yang demikian ini yang disebut dengan etik profetik. 

Selanjutnya, dari Roger Garaudy, filosof Perancis yang menjadi muslim, etik profetik juga memperoleh penegasannya. Roger Garaudy menulis Janji-Janji Islam (1982). Menurutnya, filsafat Barat tidak memuaskan karena terombang-ambing antara dua kubu, idealis dan materialis. Filsafat Barat lahir dari pertanyaan tentang bagaimana pengetahuan dimungkinkan. Ia menyarankan untuk mengubah pertanyaan itu menjadi bagaimana wahyu dimungkinkan. Menurutnya, satu-satunya cara untuk menghindari kehancuran peradaban ialah dengan mengambil kembali warisan Islam. Filsafat Barat sudah “membunuh” Tuhan dan manusia, karena itu ia menganjurkan supaya umat manusia memakai filsafat kenabian (profetik) dari Islam dengan mengakui wahyu (Kuntowijoyo, 1997).

Kuntowijoyo tergolong sebagai sastrawan yang mampu menulis dalam berbagai genre. Sebagai penyair ia telah menghasilkan tiga kumpulan sajak, yaitu Suluk Awang Uwung (1975), Isyarat (1976), dan Makrifat Daun Daun Makrifat (1995). Sebagai cerpenis ia menghasilkan kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1992), fabel Mengusir Matahari (2000), dan beberapa cerpennya terpilih sebagai cerpen terbaik pilihan Kompas yang kemudian diterbitkan oleh Kompas dalam Laki-Laki yang Kawin dengan Peri (1995), Pistol Perdamaian (1996), dan Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan (1997). Dalam bidang drama ia menghasilkan “Rumput-Rumput Danau Bento” (1968), “Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma”, “Barda”, dan “Cartas” (1972), dan Topeng Kayu (1973). Sebagai novelis ia telah menulis “Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari” (1966), Khotbah di Atas Bukit (1976), Pasar (1994), dan Impian Amerika (1998). Dari banyak karyanya itu Kuntowijoyo juga telah memperoleh berbagai penghargaan sastra.

Kumpulan puisi Makrifat Daun Daun Makrifat (selanjutnya disingkat MDDM) merupakan kumpulan puisi paling akhir yang dihasilkan Kuntowijoyo. MDDM diterbitkan oleh Gema Insani Press (1995), memuat 47 sajak-sajak pendek dengan nafas religiusitas yang kental yang tetap tidak mengabaikan kenyataan horisontal. MDDM bisa dipakai untuk melacak adanya tema sastra profetik yang dianjurkan oleh Kuntowijoyo. Dalam pengantar untuk MDDM sendiri Kuntowijoyo juga secara tegas menulis.

“Sajak-sajak ini adalah serbuan dari langit. Akan tetapi, ia tidak menjadikan sastra terpencil. Lihatlah ia juga berbicara tentang pemogokan, kalau yang dimaksud dengan kenyataan ialah penderitaan. Sajak-sajak ini adalah sebuah pemberontakan, pemberontakan metafisik terhadap materialisme....” (Kuntowijoyo, 1995:5).

Dengan demikian, MDDM memiliki kekhasan sebagai sebuah khazanah pemikiran dan pola ucap dalam sejarah perpuisian Indonesia, yaitu hadirnya semangat profetik. Karenanya, perlulah sebagian puisi-puisi Kuntowijoyo dari kumpulan puisi MDDM tersebut dibedah untuk menelusuri adanya etika profetik di dalamnya. Uraian di bawah ini merupakan gambaran ringkas mengenai pengungkapan etika profetik dalam puisi Kunto tersebut.

Semangat Amar Ma’ruf (Emansipasi/Humanisasi)
Amar Ma’ruf dalam arti sederhananya adalah menyuruh kepada kebaikan. Dalam penafsiran lebih lanjur, amar ma’ruf dimaknakan sebagai upaya “pemanusiaan” (emansipasi/humanisasi). Upaya humanisasi dapat berarti upaya untuk melawan segala bentuk dehumanisasi dan loneliness (privatisasi dan individuasi). Dehumanisasi ini terjadi di antaranya karena dipakainya teknologi di dalam masyarakat, misalnya sebuah pabrik yang menjadikan manusia semata objek dan menciptakan otomatisme (manusia bergerak secara otomatis tanpa kesadaran) (Kuntowijoyo, 1997). 

Subjek semangat amar ma’ruf dari kumpulan MDDM dapat ditemukan dalam puisi berjudul “(Menjadi saksi pemogokan)”. 

(Menjadi saksi pemogokan)
Kusucikan waktu dengan kata
sehingga para pekerja 
kembali ke pabrik
Aku tak pernah sangsi
kemerdekaan, tangan gaib semesta
mengalir lewat benang elektronik dan kesadaran yang mulia

Puisi di atas mengabarkan adanya aku partikular yang menegaskan kepada para pekerja untuk tidak perlu mogok kerja karena merasa diperbudak oleh pabrik. Aku partikular justru tidak sangsi bahwa jika dengan selalu mengedepankan kesadaran, maka kemerdekaan bisa ditemukan di sela-sela rutinisme kerja. 

Jika dilihat dari keseluruhan baris puisi, maka kalimat kesadaran yang mulia bisa menjadi model dari pusat makna yang ada. Kesadaran yang mulia sendiri membuktikan adanya kualitas kemanusiaan. Manusia akan memperteguh kualitas kemanusiaannya ketika ia bisa memaknai kehidupan dengan sebuah kesadaran. Dari sini inti makna puisi dapat ditebak, yaitu humanisasi/emansipasi (pemanusiaan).

Budaya industrialisasi, yang di antara simbolnya adalah munculnya pabrik-pabrik, telah menggiring manusia untuk cenderung menjadi mesin dan terjebak dalam rutinisme yang menyebabkannya kehilangan dimensi kemanusiaan (mengalami dehumanisasi). Dehumanisasi menyebabkan manusia kehilangan kemerdekaannya, kemerdekaan untuk menentukan eksistensinya. Manusia terkungkung oleh benda-benda. 

Di sinilah diperlukannya upaya humanisasi atau emansipasi, berupa mengembalikan manusia kepada kemanusiaannya. Upaya itu adalah dengan menghadirkan kembali kesadaran yang mulia, tanpa harus menolak secara membabi-buta budaya industrialisasi, tanpa harus menghancurkan pabrik-pabrik, tanpa harus mogok kerja. 

Jika seluruh instrumen industrialisasi memahami dan dipahami secara kesadaran yang mulia, maka kemanusiaan tetap bisa ditegakkan dan kemerdekaan tetap bisa ditemukan di dalam benang elektronik. Semangat untuk menegakkan hal demikian disebut semangat amar ma’ruf.

Semangat Nahyi Munkar (Liberasi)
Secara sederhana nahyi munkar diartikan mencegah kemungkaran. Mencegah kemungkaran ini bisa berupa membebaskan kehidupan dari segala bentuk kejahatan. Ia bersifat liberatif. Liberasi bisa menyentuh ke seluruh aspek kehidupan, terutama aspek sosial-politik dan ekonomi. 

Puisi untuk mewakili semangat nahyi munkar (liberasi) dari kumpulan Makrifat Daun Daun Makrifat adalah sebuah puisi tanpa judul yang bernomor 48. 

Sebagai hadiah malaikat menanyakan
apakah aku ingin berjalan di atas mega
dan aku menolak
karena hatiku masih di bumi
sampai kejahatan terakhir dimusnahkan
Sampai dhuafa dan mustadhafin
diangkat Tuhan dari penderitaan

Puisi di atas memperlihatkan adanya aku partikular yang menegaskan etiknya untuk tetap terlibat dengan aktivisme sosial melebihi dari iming-iming kenikmatan asketisisme spiritual berjalan di atas mega, sehingga kejahatan terakhir musnah dan orang-orang lemah terlepas dari penderitaan. Penyampaian makna ini diperkuat oleh penghadiran beberapa polarisasi kata di dalamnya, terutama polarisasi antara mega dengan bumi. 

Tawaran untuk menikmati indahnya pengasingan mistik berjalan di atas mega ditolak oleh aku partikular. Aku partikular menolak karena kakiku masih di bumi. Sebagai bukti dari penolakan kepada pengasingan mistik itu adalah keinginan aku partikular untuk menyaksikan kejahatan terakhir dimusnahkan dan dhuafa dan mustadhafin / diangkat Tuhan dari penderitaan. 

Etik menolak untuk pengasingan mistik, etik menolak kejahatan, etik menolak kependeritaanan dhuafa dan mustadzafin adalah etik liberatif. Di dalamnya terkandung semangat untuk membebaskan, membebaskan manusia dari kejahatan dan dari penderitaan. Karena itulah, inti makna dari puisi ini adalah semangat liberasi. 

Liberasi yang muncul dari puisi ini adalah liberasi yang bersifat sosial-politik dan ekonomi. Memusnahkan kejahatan adalah bentuk liberasi yang bersifat sosial-politik itu. Di dalamnya terkandung hasrat untuk menegakkan HAM, melawan otoritarianisme dan kediktatoran, juga melawan segala kejahatan sosial. Mengangkat penderitaan merupakan bentuk liberasi yang bersifat ekonomi. Di sini terkandung hasrat untuk menghilangkan adanya kesenjangan ekonomi, “Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu” (Al Hasyr: 7).

Semangat Iman bi Allah (Transendensi)
Iman bi Allah berarti percaya kepada Allah S.W.T. Dikontekskan dengan pembahasan sebelumnya, maka semangat amar ma’ruf (emansipasi/humanisasi) dan nahyi munkar (liberasi) itu harus dirujukkan kepada keimanan kepada Tuhan. Puisi tanpa judul bernomor 47 representatif untuk mewakili tema ini. 

Suatu hari kutemukan
burung di sangkar termenung membungkam
aku bertanya dan dengan sedih dia mengatakan
Mereka yang melupakan Tuhan
tak berhak mendengar burung bernyanyi

Puisi menampakkan adanya aku partikular yang tengah diajari oleh peristiwa pemberontakan sebuah burung terhadap perilaku kontraliberatif dan dehumanisatif dari manusia karena manusia melupakan Tuhannya.

Karena adanya mereka (manusia) yang melupakan Tuhan menyebabkan burung terpenjara di sangkar (kontraliberatif dan dehumasisatif). Keterpenjaran ini menyebabkan burung melakukan upaya protes (semangat humanisasi+liberasi), yaitu dengan termenung membungkam dengan anggapan bahwa mereka yang melupakan Tuhan itu memang tidak pantas mendengarkan burung bernyanyi. 

Melupakan Tuhan merupakan perbuatan yang kontradiktif bagi keimanan, bagi semangat transendensi. Hilangnya keimanan menyebabkan dominannya perilaku yang kontradiktif bagi semangat humanisasi (amar ma’ruf) dan liberasi (nahyi munkar). Dengan kata lain, membangun upaya humanisasi dan liberasi harus tetap berpijak pada landasan semangat transendensi (iman bi Allah).*** 

Daftar Pustaka:
  • Hadi W.M., Abdul, 1989, “Semangat Profetik Sastra Sufi dan Jejaknya dalam Sastra Modern” dalam majalah Ulumul Quran No. 1, Jakarta: Aksara Buana
  • ________, 1999, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik, Jakarta: Pustaka Firdaus
  • Kartanegara, R. Mulyadhi, 1986, Renungan Mistik Jalal ad-Din Rumi, Jakarta: Pustaka Jaya
  • Kuntowijoyo, 1993, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan
  • ________, 1995, Makrifat Daun Daun Makrifat, Jakarta: Gema Insani Press
  • ________, 1997, “Menuju Ilmu Sosial Profetik” dalam Republika, Kamis, 7 Agustus 1997, Jakarta
  • Luce, Miss dan Claude Maitre, 1993, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, diterjemahkan oleh Djohan Effendi, Bandung: Mizan
  • Rifai, Aminudin, 2002, “Makna Puisi ‘(Sajak-sajak yang dimulai dengan Bait Al-Barzanji)’ Kuntowijoyo Pendekatan Semiotika Riffaterre”, skripsi sarjana sastra Indonesia, Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM
  • Tim DKJ (ed.), 1984, Duapuluh Sastrawan Bicara. Jakarta: Sinar Harapan
  • Wangsitalaja, Amien, 2001, “Kuntowijoyo: Dua Budaya Tiga Resep” dalam Kakilangit 49 Majalah Horison XXXIV/2/2001, Jakarta: Yayasan Indonesia

NOVEL SEBAGAI BAGIAN DARI SASTRA
Sastra pada dasarnya merupakan ciptaan, sebuah kreasi bukan semata - mata sebuah imitasi (dalam Luxemburg, 1989: 5). Karya sastra sebagai bentuk dan hasil sebuah pekerjaan kreatif, pada hakikatnya adalah suatu media yang mendayagunakan bahasa untuk mengungkapkan tentang kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sebuah karya sastra, pada umumnya, berisi tentang permasalahan yang melingkupi kehidupan manusia. Kemunculan sastra lahir dilatar belakangi adanya dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan eksistensi dirinya. (dalam Sarjidu, 2004: 2).Biasanya kesusastraan dibagi menurut daerah geografis atau bahasa. Jadi, yang termasuk dalam kategori Sastra adalah: Novel cerita/cerpen (tertulis/lisan), syair, pantun, sandiwara/drama, lukisan/kaligrafi.

Novel adalah salah satu bentuk dari sebuah karya sastra. Novel merupakan cerita fiksi dalam bentuk tulisan atau kata-kata dan mempunyai unsur instrinsik dan ekstrinsik. Sebuah novel biasanya menceritakan tentang kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sesamanya. Dalam sebuah novel, si pengarang berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan melalui cerita yang terkandung dalam novel tersebut.Menurut khasanah kesusastraan Indonesia modern, novel berbeda dengan roman. Sebuah roman menyajikan alur cerita yang lebih kompleks dan jumlah pemeran (tokoh cerita) juga lebih banyak. Hal ini sangat berbeda dengan novel yang lebih sederhana dalam penyajian alur cerita dan tokoh cerita yang ditampilkan dalam cerita tidak terlalu banyak.Berdasarkan ulasan di atas, maka penulis membuat makalah ini guna membantu para pembaca yang ingin menekuni dunia novel. Selain tentang pengertian dan unsur – unsur novel, makalah ini juga memuat catatan tentang novel – novel yang pertama muncul serta dilengkapi juga dengan panduan untuk membuat novel agar menarik untuk dibaca.

A. Pengertian Novel
Dari sekian banyak bentuk sastra seperti esei, puisi, novel, cerita pendek, drama, bentuk novel, cerita pendeklah yang paling banyak dibaca oleh para pembaca. Karya– karya modern klasik dalam kesusasteraan, kebanyakan juga berisi karya– karya novel. Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling popular di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya komunikasinya yang luas pada masyarakat. Sebagai bahan bacaan, novel dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu karya serius dan karya hiburan. Pendapat demikian memang benar tapi juga ada kelanjutannya. Yakni bahwa tidak semua yang mampu memberikan hiburan bisa disebut sebagai karya sastra serius. Sebuah novel serius bukan saja dituntut agar dia merupakan karya yang indah, menarik dan dengan demikian juga memberikan hiburan pada kita. Tetapi ia juga dituntut lebih dari itu. Novel adalah novel syarat utamanya adalah bawa ia mesti menarik, menghibur dan mendatangkan rasa puas setelah orang habis membacanya. 

Novel yang baik dibaca untuk penyempurnaan diri. Novel yang baik adalah novel yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya. Sebaliknya novel hiburan hanya dibaca untuk kepentingan santai belaka. Yang penting memberikan keasyikan pada pembacanya untuk menyelesaikannya. Tradisi novel hiburan terikat dengan pola – pola. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa novel serius punya fungsi social, sedang novel hiburan Cuma berfungsi personal. Novel berfungsi social lantaran novel yang baik ikut membina orang tua masyarakat menjadi manusia. Sedang novel hiburan tidak memperdulikan apakah cerita yang dihidangkan tidak membina manusia atau tidak, yang penting adalah bahwa novel memikat dan orang mau cepat–cepat membacanya. 

Banyak sastrawan yang memberikan yang memberikan batasan atau definisi novel. Batasan atau definisi yang mereka berikan berbeda-beda karena sudut pandang yang mereka pergunakan juga berbeda-beda. Definisi – definisi itu antara lain adalah sebagai berikut :
  1. Novel adalah bentuk sastra yang paling popular di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak dicetak dan paling banyak beredar, lantaran daya komunitasnya yang luas pada masyarakat (Jakob Sumardjo Drs).
  2. Novel adalah bentuk karya sastra yang di dalamnya terdapat nilai-nilai budaya social, moral, dan pendidikan (Dr. Nurhadi, Dr. Dawud, Dra. Yuni Pratiwi, M.Pd, Dra. Abdul Roni, M. Pd).
  3. Novel merupakan karya sastra yang mempunyai dua unsur, yaitu : undur intrinsik dan unsur ekstrinsik yang kedua saling berhubungan karena sangat berpengaruh dalam kehadiran sebuah karya sastra (Drs. Rostamaji,M.Pd, Agus priantoro, S.Pd).
  4. Novel adalah karya sastra yang berbentuk prosa yang mempunyai unsur-unsur intrinsic (Paulus Tukam, S.Pd)
B. Unsur-Unsur Novel
Novel mempunyai unsur-unsur yang terkandung di dalam unsur-unsur tersebut adalah : 
  • Unsur Intrinsik Unsur Intrinsik ini terdiri dari :
  1. Tema : Tema merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang mendasari jalan cerita novel (Drs. Rustamaji, M.Pd, Agus priantoro, S.Pd.
  2. Setting : Setting merupakan latar belakang yang membantu kejelasan jalan cerita, setting ini meliputi waktu, tempat, social budaya (Drs, Rustamaji, M.Pd, Agus Priantoro, S.Pd)
  3. Sudut Pandang :Sudut pandang dijelaskan perry Lubback dalam bukunya The Craft Of Fiction (Lubbock, 1968).
  4. .Alur / Plot : Alur / plot merupakan rangkaian peristiwa dalam novel. Alur dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu alur maju (progresif) yaitu apabila peristwa bergerak secara bertahap berdasarkan urutan kronologis menuju alur cerita. Sedangkan alur mundur (flash back progresif) yaitu terjadi ada kaitannya dengan peristiwa yang sedang berlangsung (Paulus Tukan, S.Pd)
  5.  Penokohan : Penokohan menggambarkan karakter untuk pelaku. Pelaku bisa diketahu karakternya dari cara bertindak, ciri fisik, lingkungan tempat tinggal. (Drs. Rustamaji, M,Pd, Agus Priantoro, S.Pd)
  6.  Gaya Bahasa 
Menurut Harry Show (1972 : 293) sudut pandang dibagi menjadi 3 yaitu :
  • Pengarang menggunakan sudut pandang took dan kata ganti orang pertama, mengisahkan apa yang terjadi dengan dirinya dan mengungkapkan perasaannya sendiri dengan kata-katanya sendiri.
  • Pengarang mengunakan sudut pandang tokoh bawahan, ia lebih banyak mengamati dari luar daripada terlihat di dalam cerita pengarang biasanya menggunakan kata ganti orang ketiga.
  • Pengarang menggunakan sudut pandang impersonal, ia sama sekali berdiri di luar cerita, ia serba melihat, serba mendengar, serba tahu. Ia melihat sampai ke dalam pikiran tokoh dan mampu mengisahkan rahasia batin yang paling dalam dari tokoh
Merupakan gaya yang dominant dalam sebuah novel (Drs. Rustamaji, M,Pd, Agus Priantoro, S.Pd) 
  • Unsur Ekstinsik 
Unsur ini meliputi latar belakang penciptaan, sejarah, biografi pengarang, dan lain – lain, di luar unsur intrinsic. Unsur – unsur yang ada di luar tubuh karya sastra. Perhatian terhadap unsur – unsur ini akan membantu keakuratan penafsiran isi suatu karya sastra (Drs. Rustamaji, M,Pd, Agus Priantoro, S.Pd).

C. Unsur – unsur Novel Sastra 
Novel sastra serius dan novel sastra hiburan mempunyai beberapa unsur yang membedakan keduanya. Unsur – unsur novel sastra serius adalah sebagai berikut : 
  1. Dalam teman : Karya sastra tidak hanya berputar – putra dalam masalah cinta asmara muda – mudi belaka, ia membuka diri terhadap semua masalah yang penting untuk menyempurnakan hidup manusia. Masalah cinta dalam sastra kadangan hanya penting untuk sekedar menyusun plot cerita belaka, sedang masalah yang sebenarnya berkembang diluar itu. 
  2.  Karya sastra : Tidak berhenti pada gejala permukaan saja, tetapi selalu mencoba memahami secara mendalam dan mendasar suatu masalah, hal ini dengan sendirinya berhubungan dengan kematangan pribadi si sastrawan sebagai seorang intelektual. 
  3. Kejadian atau pengalaman yang diceritakan dalam karya sastra bisa dialami atau sudah dialami oleh manusia mana saja dan kapan saja karya sastra membicarakan hal – hal yang universal dan nyata. Tidak membicarakan kejadian yang artificial (yang dibikin – bikin) dan bersifat kebetulan. 
  4. Sastra selalu bergerak, selalu segar dan baru. Ia tidak mau berhenti pada konvensialisme. Penuh inovasi. 
  5. Bahasa yang dipakai adalah bahasa standard an bukan silang atau mode sesaat. 
Sedangkan novel sastra hiburan juga mempunya unsur – unsur sebagai berikut : 
  • Tema yang selalu hanya menceritakan kisah asmara belaka, hanya itu tanpa masalah lain yang lebih serius. 
  • Novel terlalu menekankan pada plot cerita, dengan mengabaikan karakterisasi, problem kehidupan dan unsur-unsur novel lain.
  • Biasanya cerita disampaikan dengan gaya emosional cerita disusun dengan tujuan meruntuhkan air mata pembaca, akibatnya novel demikian hanya mengungkapkan permukaan kehidupan, dangkal, tanpa pendalaman.
  • Masalah yang dibahas kadang-kadang juga artificial, tidak hanya dalam kehidupan ini. Isi cerita hanya mungkin terjadi dalam cerita itu sendiri, tidak dalam kehidupan nyata.
  • Karena cerita ditulis untuk konsumsi massa, maka pengarang rata-ratatunduk pada hokum cerita konvensional, jarang kita jumpai usaha pembaharuan dalam jenis bacaan ini, sebab demikian itu akan meninggalkan masa pembacanya.
  • Bahasa yang dipakai adalah bahasa yang actual, yang hidup dikalangan pergaulan muda-mudi kontenpores di Indonesia pengaruh gaya berbicara serta bahasa sehari-hariamat berpengaruh dalam novel jenis ini.
D. Nilai-nilai yang terkandung dalam novel sastra.
  1. Nilai Sosial : Nilai sosial ini akan membuat orang lebih tahu dan memahami kehidupan manusia lain.
  2. Nilai Ethik : Novel yang baik dibaca untuk penyempurnaan diri yaitu novel yang isinya dapat memausiakan para pembacanya, Novel-novel demikian yang dicari dan dihargai oleh para pembaca yang selalu ingin belajar sesuatu dari seorang pengarang untuk menyempurnakan dirinya sebagai manusia. 
  3. Nilai Hedorik : Nilai hedonik ini yang bisa memberikan kesenangan kepada pembacanya sehingga pembaca ikut terbawa ke dalam cerita novel yang diberikan
  4. Nilai Spirit : Nilai sastra yang mempunyai nilai spirit isinya dapat menantang sikap hidup dan kepercayaan pembacanya. Sehingga pembaca mendapatkan kepribadian yang tangguh percaya akan dirinya sendiri
  5. Nilai Koleksi : Novel yang bisa dibaca berkali-kali yang berakibat bahwa orang harus membelinya sendiri, menyimpan dan diabadikan.
  6. Nilai Kultural : Novel juga memberikan dan melestarikan budaya dan peradaban masyarakat, sehingga pembaca dapat mengetahui kebudayaan masyarakat lain daerah.
E. Jenis Novel Hiburan
Jenis dari novel hiburan bermacam-macam menurut upaya, seperti :
  1. Novel detektif
  2. Novel roma
  3. Novel mistery
  4. Novel Gothis
  5. Novel criminal
  6. Novel science fiction(sf)
Novel hiburan ini merupakan bacaan ringan yang menghibur dan novel hiburan ini jauh lebih banyak ditulis dan diterbitkan serta lebih banyak dibaca orang sebagai pembaca untuk jenis novel hiburan ini jumlahnya amat banyak karena sifatnya yang personal dan isinya hanya kenyataan semua dan gambaran fantasi pengarang saja.Novel hiburan juga menceritakan hal-hal yang indah seperti cerita percintaan yang sentimentil, sehingga pembaca sangat menyukainya. Novel hiburan ini juga diperhatikan oleh para kritisi yang menyangkut masalah komersialnya, Novel ini gemari oleh semua golongan masyarakat mulai dari anak-anak sampai orang dewasa, baik laki-laki maupun dewasa.

F. Novel – novel Pertama
Jepang adalah tempat lahirnya novel yang pertama. Novel itu berjudul Hikayat Genji, yang ditulis pada abad ke-11 oleh Murasaki Shikibu. Ceritanya berfokus pada tokoh khayalan Pangeran Genji, hubungan asmaranya, dan keturunan-keturunannya. Hikayat Genji melukiskan kehidupan istana Jepang pada periode Heian dan memberikan penggambaran memikat tentang wanita Jepang pada masa itu.Namun, novel berkembang dalam bentuk modern di Eropa selama masa Renaisans. Isi novel-novel awal ini mencerminkan perhatian masyarakat pada umumnya saat itu, termasuk munculnya kelas menengah sebagai kelompok sosial, gugatan terhadap agama dan nilai-nilai moral tradisional, minat terhadap sains dan filsafat, serta hasrat akan penjelajahan dan penemuan.

Novel-novel Eropa yang paling awal, disebut novel-novel picaresque, adalah kisah-kisah petualangan yang menampilkan tokoh-tokoh utama yang cerdik, atau picaros, yang mengandalkan kecerdikan mereka untuk bertahan. Bertolak-belakang dengan roman-roman kesatriaan yang puitis, yang mengisahkan perjuangan mencapai cita-cita spiritual tinggi, novel-novel picaresque merayakan petualangan sebagai hiburan belaka.

Novel picaresque yang paling terkenal adalah Lazarillo de Tormes (1554), ditulis oleh pengarang Spanyol yang anonim. Novel ini bercerita tentang seorang anak lelaki yang mencoba bertahan di dunia yang penuh dengan para petani yang kejam, pendeta yang jahat, bangsawan yang berkomplot, dan sederetan tokoh-tokoh yang kasar.

Karya yang lebih serius adalah Don Quixote (1605, 1615), tulisan pengarang Spanyol Miguel de Cervantes. Kisah ini menggambarkan seorang bangsawan Spanyol idealis yang membayangkan dirinya sebagai seorang pahlawan, tetapi sesungguhnya adalah seorang pria paruh baya biasa yang membaca banyak roman kesatriaan sehingga dia tidak menyentuh realitas.Semenjak itu, novel telah berkembang meliputi banyak genre. Umumnya, kini novel dibedakan atas genre novel sosial, novel psikologi, novel pendidikan, novel filsafat, novel populer, dan novel eksperimen. Novel populer sendiri terdiri atas novel detektif, novel spionase, novel fiksi ilmiah, novel sejarah, novel fantasi, novel horor, novel percintaan, dan novel Western.

Novel detektif pertama adalah The Moonstone (1868), karangan penulis Inggris Wilkie Collins. Novel ini tidak hanya berisi teka-teki rumit siapa yang mencuri permata langka bernama Moonstone, tetapi juga memperkenalkan jagoan detektif modern yang pertama, Sersan Coff, diciptakan berdasarkan penyelidik kriminal sungguhan yang menyukai mawar.

Novel spionase pertama adalah The Riddle of the Sands (1903) karangan Erskine Childers. Novel ini mencangkok aspek-aspek cerita misteri dan kriminal pada plot yang melibatkan intrik internasional. The Riddle of the Sands adalah cerita khayalan tentang persiapan Jerman menyerang Inggris melalui laut. Childers menggunakan pengalamannya sebagai seorang nakhoda kapal untuk menggambarkan detail cerita itu.

Sebetulnya, sudah ada unsur-unsur fiksi ilmiah di dalam tulisan-tulisan lama, tetapi novel fiksi ilmiah sejati yang pertama adalah Journey to the Center of the Earth (1864) karya Jules Verne. Novel ini memasukkan geologi dan penelitian tentang gua-gua ke dalam cerita khayalan tentang perjalanan menuju perut bumi. Verne adalah pengarang pertama yang mengkhususkan diri dalam fiksi ilmiah. Novel-novelnya banyak yang mendahului zaman, antara lain From the Earth to the Moon (1865) dan 20,000 Leagues Under the Sea (1870).

Novel sejarah pertama adalah Waverley (1814), karangan novelis Skotlandia Sir Walter Scott. Novel ini dan banyak sekuelnya berkisah seputar kejadian-kejadian bersejarah di Skotlandia, Inggris, dan daerah-daerah lainnya di dunia.

Novel fantasi pertama adalah Alice's Adventures in Wonderland (1865) dan Through the Looking-Glass and What Alice Found There (1871) karya pengarang Inggris Lewis Carroll. Kedua buku ini bercerita tentang seorang anak perempuan yang masuk ke dalam sebuah dunia yang aneh, bertemu dengan kelinci yang bisa berbicara, dan mengalami kejadian-kejadian yang seperti mimpi.

Agak sulit menentukan novel horor yang pertama. Ada yang menyebutkan Frankenstein (1818) karya Mary Wollstonecraft Shelley, sebuah novel Gotik tentang penciptaan monster. Tetapi, ada pula yang menyebutkan buku Dracula (1897) karya Bram Stoker sebagai novel horor sejati yang pertama. Novel ini memadukan cerita rakyat yang mengerikan yang usianya sudah berabad-abad dengan kisah psikopat sungguhan Count Vlad Dracul dari Rumania.

Novel percintaan pertama adalah Jane Eyre (1847) karya novelis Inggris Charlotte Bronte. Novel ini bercerita tentang seorang gadis muda yatim piatu yang mendapatkan pekerjaan sebagai seorang guru privat dan kemudian jatuh cinta pada majikannya.

Adapun novel Western pertama adalah The Virginian (1902), karangan Owen Wister. Para penulis cerita picisan telah menghasilkan banyak cerita tentang para penjahat selama tahun 1880-an dan 1890-an, tetapi Wister adalah pengarang pertama yang mengangkat koboi sebagai jagoan literer. Sang tokoh menjalani hidup yang keras, kehilangan kekasihnya, dan menghadapi duel senjata. Novel ini menjadi best-seller dan kemudian dibuatkan drama, film, dan serial televisi.

G. Tips menulis novel
Banyak sekali orang mencari tips bagaimana menulis novel. Sebenarnya tidak perlu cara khusus untuk bisa menulis novel yang terpenting kalau menurut saya, "membuat suatu karya adalah sebuah imajinasi dari sebuah kreativitas jadi tulis saja apa yang ada di kepala kita"

Banyak orang yang salah tujuan dalam membuat novel. Mungkin benar seandainya kita membuat novel nantinya pasti ingin kita terbitkan dan kenyataan yang harus dihadapi kalau menerbitkan sebuah novel itu ternyata susah dan buat pemula pasti sering menyerah dan berputus asa ketika karyanya tidak lolos seleksi penerbit.

tips yang ingin bisa membuat novel (bukan tips membuat novel yang langsung terkenal) :
  1. Menulislah untuk orang yang kalian sayang, misalkan orang tua atau pacar atau sahabat kalian. Seperti yang saya bilang tadi jangan menulis untuk penerbit karena karya yang hebat itu terlahir dari sebuah niat tulus dari pembuatnya, contohnya Laskar pelangi yang awal niatnya hanya untuk hadiah gurunya, malah menjadi buming seperti sekarang. Sebenarnya intinya bukan itu sih, ketika kita membuat karya untuk orang yang kita sayangi maka kita akan memiliki sebuah power tambahan untuk bisa menyelesaikan karya novel kita, karena membuat novel itu butuh kesabaran, komitmen menyelesaikan dan terus berpikir kreatif untuk menemukan ide-ide baru sehingga novel yang kita buat nantinya bisa baik.
  2. Tulislah apa yang ada dipikiran kalian, jangan memikirkan apakah ide yang muncul di kepala itu bagus atau tidak. Kalau ada ide langsung tulis, baru kalau sudah selesai cerita yang kita buat, kita lakukan revisi dan pengeditan.
  3. Tetap komitmen untuk menyelesaikan novel kita. Jujur pengalaman saya membuat novel pendek sepanjang 130 halaman butuh waktu empat bulan dan pada bulan pertama novel yang saya buat terhapus dari laptop dan parahnya lagi data filenya tidak bisa direcovery akhirnya buat lagi dari awal. Karena saat itu saya membuat novel itu untuk hadiah cewek yang saya suka jadi mau gak mau harus diselesaikan. Singkat cerita novel itu jadi.
  4. Setelah cerita novel yang kita buat jadi lalu apakah harus berhenti begitu saja? Banyak penulis pemula yang setelah menyelesaikan novelnya berhenti pada tahap ini, sebenarnya hal ini adalah sebuah kesalahan. Kenapa?
Kesimpulan
Novel adalah salah satu bentuk dari sebuah karya sastra. Novel merupakan cerita fiksi dalam bentuk tulisan atau kata-kata dan mempunyai unsur instrinsik dan ekstrinsik. Sebuah novel biasanya menceritakan tentang kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sesamanya. Dalam sebuah novel, si pengarang berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan melalui cerita yang terkandung dalam novel tersebut.

Unsur – Unsur Puisi:
  • Unsur Intrinsik
  1. Tema
  2. Setting
  3. Sudut Pandang
  4. Alur / Plot 
  5. Penokohan 
  6. Gaya Bahasa 
  • Unsur Ekstinsik 
Nilai-nilai yang terkandung dalam novel sastra.
  1. Nilai Sosial
  2. Nilai Ethik
  3. Nilai Hedorik
  4. Nilai Spirit
  5.  Nilai Koleksi
  6. Nilai Kultural
Jepang adalah tempat lahirnya novel yang pertama. Novel itu berjudul Hikayat Genji, yang ditulis pada abad ke-11 oleh Murasaki Shikibu. 

Saran
  1. Hendaknya dilakukan pembinaan untuk siswa – siswa yang berpotensi dan berminat dalam pembuatan karya tulis, khususnya novel.
  2. Hendaknya diadakan semacam kompetisi karya sastra, agar para siswa lebih giat lagi mengembangkan bakat yang ada di dalam dirinya.
DAFTAR PUSTAKA
  1. http://id.wikipedia.org/wiki/sastra
  2. http://id.wikipedia.org/wiki/novel 
  3. http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=AwULVA5XAlAK
  4. http://74.125.153.132/search?q=cache%3AUnAIQJNA50AJ%3Aetd.eprints.ums.ac.id%2F3546%2F1%2FG000050110.pdf+pendahuluan+novel&hl=id&gl=id
  5. http://sobatbaru.blogspot.com/2008/04/pengertian-novel.html
  6. http://www.arumitasakurajuni.com/artikel/10-tips-menulis-novel.html 
  7. http://www.arumitasakurajuni.com/artikel/17-tips-menulis-novel-2.html

Kuntowijoyo Sastrawan Profetik
Sastra profetik adalah sastra yang berjiwa transendental dan sufistik karena berangkat dari nilai-nilai ketauhidan, tetapi yang setelah itu juga memiliki semangat untuk terlibat dalam mengubah sejarah kemanusiaan yang karena itu memiliki semangat kenabian. Sebagai aliran di dalam tradisi intelektual Islam, sastra sufistik dapat disebut juga sebagai sastra transendental karena pengalaman yang dipaparkan penulisnya ialah pengalaman transendental, seperti ekstase, kerinduan, dan persatuan mistikal dengan Yang Transenden. Pengalaman ini berada di atas pengalaman keseharian dan bersifat supralogis (Hadi, 1999:23). 

Sastra transendental memang telah memiliki perjalanannya sendiri yang panjang. Dua contoh sastrawan Islam yang menulis secara sufistik dan transendental adalah Jalaluddin Rumi dan Muhammad Iqbal.

Jalaluddin Rumi (1207-1273) adalah penyair dari Persia yang terkenal sebagai sastrawan yang mendalami tasawuf. Salah satu karya Jalaluddin Rumi adalah Diwan-i Syams Tabriz yang berupa 33.000 bait puisi berbentuk lirik. Puisi-puisi ini pada awalnya adalah lontaran spontan yang muncul dari mulut Jalaluddin Rumi ketika ia berada dalam situasi ekstase. Lontaran-lontaran itu kemudian dicatat oleh para muridnya yang mengelilinginya. Puisi-puisi dalam Diwan-i Syams Tabriz ini berisi renungan-renungan ilahiyah dan persatuan mistikal.

Muhammad Iqbal (1873-1938) dari Pakistan merupakan sosok lain dari sastrawan transendental dalam tradisi sastra Islam. Puisinya menampakkan kekentalan permenungan filsafat, ini tampak di antaranya dalam kumpulan puisinya yang berjudul Asrar-i Khudi. Muhammad Iqbal juga adalah pengagum Jalaluddin Rumi dan menganggap Jalaluddin Rumi sebagai guru spiritualnya.

Dalam sastra Indonesia modern, warna transendental juga banyak ditemukan. Karya-karya Amir Hamzah merupakan contoh sastra transendental yang berbobot dari tradisi sastra Angkatan Pujangga Baru. Chairil Anwar pelopor Angkatan 45 pun juga menulis puisi transendental, misalnya puisi “Kepada Peminta-minta”. Dalam tradisi yang lebih baru, sastrawan-sastrawan yang menulis tema transendental banyak bermunculan. Di antara mereka itu adalah Abdul Hadi W.M., Sutardji Calzoum Bachri, Kuntowijoyo, K.H. Mustofa Bisri, dan kemudian diikuti pula oleh yang lebih muda dari mereka, seperti Mustofa W. Hasyim, Mathori A. Elwa, Amien Wangsitalaja, Acep Zamzam Noor, Abidah el Khalieqy.

Kuntowijoyo, lahir 18 September 1943, merupakan sastrawan Indonesia yang dapat digolongkan sebagai penulis sastra transendental ini. Sastra bagi Kuntowijoyo harus mampu memberikan keseimbangan antara tema sosial dan tema spiritual, antara pelibatan diri dalam persoalan kemanusiaan dengan kesuntukan beribadah, antara yang bersifat dunyawiyah dan ukhrawiyah, antara aktivisme sejarah dengan pengalaman religius. 

Kuntowijoyo mendasarkan perumusan sastra profetik (dan profetisitas secara umum) kepada Al Quran surah Ali Imran: 3. Bagi Kunto (1997), ada empat hal tersirat dari ayat ketiga surah Ali Imran ini, yaitu (1) konsep tentang umat terbaik, (2) aktivisme sejarah, (3) pentingnya kesadaran, dan (4) etik profetik.

Pertama, konsep tentang umat terbaik (the choosen people). Umat Islam akan menjadi umat terbaik (khaira ummah) dengan syarat mengerjakan tiga hal sebagaimana disebut oleh ayat tersebut. Jadi, sebuah umat tidak akan secara otomatis menjadi the choosen people. Konsep the choosen people dalam Islam ini berbeda dengan konsep the choosen people dari Yudaisme. Konsep Yudaisme menyebabkan rasialisme, sedangkan konsep umat terbaik dari Islam justru berupa sebuah tantangan untuk bekerja lebih keras ke arah aktivisme sejarah. 

Kedua, aktivisme sejarah. Bekerja di tengah-tengah manusia (ukhrijat li an nas) berarti bahwa yang ideal bagi Islam ialah keterlibatan umat dalam sejarah. Wadat (tidak kawin), uzlah (mengasingkan diri), dan kerahiban tidak dibenarkan. Demikian pula gerakan mistik yang berlebihan yang melupakan keduniaan bukanlah kehendak Islam, karena Islam adalah agama amal. 

Ketiga, pentingnya kesadaran. Nilai-nilai Ilahiyah menjadi tumpuan aktivisme Islam. Peranan kesadaran ini membedakan etik Islam dari etik materialistis. Pandangan kaum Marxis bahwa superstruktur (kesadaran) ditentukan oleh struktur (basis sosial, kondisi material) bertentangan dengan pandangan Islam tentang independensi kesadaran. Demikian pula, pandangan yang selalu mengembalikan pada individu (individualisme, eksistensialisme, liberalisme, kapitalisme) bertentangan dengan Islam, karena yang menentukan bentuk kesadaran bukan individu tetapi Tuhan. Demikian juga segala bentuk sekularisme, ia bertentangan dengan kesadaran Ilahiyah. 

Keempat, etika profetik. Ayat ini berlaku umum, untuk siapa saja, baik individu (orang awam, ahli, superahli), lembaga (ilmu, universitas, ormas, orsospol), maupun kolektivitas (jamaah, umat, kelompok masyarakat). Semua diharuskan untuk mengamalkan ayat ini, yaitu amar ma’ruf (menyuruh kebaikan), nahyi munkar (mencegah kejelekan), dan iman (tu’minuna) bi Allah (beriman kepada Allah). Ketiga hal ini adalah unsur yang tak terpisahkan dari etik profetik. 

Asal-usul pikiran tentang etik profetik ini, menurut Kuntowijoyo, bisa ditelusuri dalam tulisan-tulisan Iqbal dan Roger Garaudy. Dalam Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, Iqbal mengungkapkan kembali kata-kata seorang sufi bahwa Nabi Muhammad SAW telah sampai ke tempat paling tinggi yang menjadi dambaan ahli mistik (dalam peristiwa Isra Mi’raj), tetapi ia kembali ke dunia untuk menunaikan tugas-tugas kerasulannya. Pengalaman keagamaan yang luar biasa itu tidak mampu menggoda Nabi untuk berhenti. Akan tetapi, ia menjadikannya sebagai kekuatan psikologis untuk perubahan kemanusiaan. Dengan kata lain, pengalaman religius itu justru menjadi dasar keterlibatannya dalam sejarah, sebuah aktivisme sejarah. Sunnah Nabi berbeda dengan jalan seorang mistikus yang puas dengan pencapaiannya sendiri. Sunnah Nabi yang demikian ini yang disebut dengan etik profetik. 

Selanjutnya, dari Roger Garaudy, filosof Perancis yang menjadi muslim, etik profetik juga memperoleh penegasannya. Roger Garaudy menulis Janji-Janji Islam (1982). Menurutnya, filsafat Barat tidak memuaskan karena terombang-ambing antara dua kubu, idealis dan materialis. Filsafat Barat lahir dari pertanyaan tentang bagaimana pengetahuan dimungkinkan. Ia menyarankan untuk mengubah pertanyaan itu menjadi bagaimana wahyu dimungkinkan. Menurutnya, satu-satunya cara untuk menghindari kehancuran peradaban ialah dengan mengambil kembali warisan Islam. Filsafat Barat sudah “membunuh” Tuhan dan manusia, karena itu ia menganjurkan supaya umat manusia memakai filsafat kenabian (profetik) dari Islam dengan mengakui wahyu (Kuntowijoyo, 1997).

Kuntowijoyo tergolong sebagai sastrawan yang mampu menulis dalam berbagai genre. Sebagai penyair ia telah menghasilkan tiga kumpulan sajak, yaitu Suluk Awang Uwung (1975), Isyarat (1976), dan Makrifat Daun Daun Makrifat (1995). Sebagai cerpenis ia menghasilkan kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1992), fabel Mengusir Matahari (2000), dan beberapa cerpennya terpilih sebagai cerpen terbaik pilihan Kompas yang kemudian diterbitkan oleh Kompas dalam Laki-Laki yang Kawin dengan Peri (1995), Pistol Perdamaian (1996), dan Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan (1997). Dalam bidang drama ia menghasilkan “Rumput-Rumput Danau Bento” (1968), “Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma”, “Barda”, dan “Cartas” (1972), dan Topeng Kayu (1973). Sebagai novelis ia telah menulis “Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari” (1966), Khotbah di Atas Bukit (1976), Pasar (1994), dan Impian Amerika (1998). Dari banyak karyanya itu Kuntowijoyo juga telah memperoleh berbagai penghargaan sastra.

Kumpulan puisi Makrifat Daun Daun Makrifat (selanjutnya disingkat MDDM) merupakan kumpulan puisi paling akhir yang dihasilkan Kuntowijoyo. MDDM diterbitkan oleh Gema Insani Press (1995), memuat 47 sajak-sajak pendek dengan nafas religiusitas yang kental yang tetap tidak mengabaikan kenyataan horisontal. MDDM bisa dipakai untuk melacak adanya tema sastra profetik yang dianjurkan oleh Kuntowijoyo. Dalam pengantar untuk MDDM sendiri Kuntowijoyo juga secara tegas menulis.

“Sajak-sajak ini adalah serbuan dari langit. Akan tetapi, ia tidak menjadikan sastra terpencil. Lihatlah ia juga berbicara tentang pemogokan, kalau yang dimaksud dengan kenyataan ialah penderitaan. Sajak-sajak ini adalah sebuah pemberontakan, pemberontakan metafisik terhadap materialisme....” (Kuntowijoyo, 1995:5).

Dengan demikian, MDDM memiliki kekhasan sebagai sebuah khazanah pemikiran dan pola ucap dalam sejarah perpuisian Indonesia, yaitu hadirnya semangat profetik. Karenanya, perlulah sebagian puisi-puisi Kuntowijoyo dari kumpulan puisi MDDM tersebut dibedah untuk menelusuri adanya etika profetik di dalamnya. Uraian di bawah ini merupakan gambaran ringkas mengenai pengungkapan etika profetik dalam puisi Kunto tersebut.

Semangat Amar Ma’ruf (Emansipasi/Humanisasi)
Amar Ma’ruf dalam arti sederhananya adalah menyuruh kepada kebaikan. Dalam penafsiran lebih lanjur, amar ma’ruf dimaknakan sebagai upaya “pemanusiaan” (emansipasi/humanisasi). Upaya humanisasi dapat berarti upaya untuk melawan segala bentuk dehumanisasi dan loneliness (privatisasi dan individuasi). Dehumanisasi ini terjadi di antaranya karena dipakainya teknologi di dalam masyarakat, misalnya sebuah pabrik yang menjadikan manusia semata objek dan menciptakan otomatisme (manusia bergerak secara otomatis tanpa kesadaran) (Kuntowijoyo, 1997). 

Subjek semangat amar ma’ruf dari kumpulan MDDM dapat ditemukan dalam puisi berjudul “(Menjadi saksi pemogokan)”. 

(Menjadi saksi pemogokan)
Kusucikan waktu dengan kata
sehingga para pekerja 
kembali ke pabrik

Aku tak pernah sangsi
kemerdekaan, tangan gaib semesta
mengalir lewat benang elektronik
dan kesadaran yang mulia

Puisi di atas mengabarkan adanya aku partikular yang menegaskan kepada para pekerja untuk tidak perlu mogok kerja karena merasa diperbudak oleh pabrik. Aku partikular justru tidak sangsi bahwa jika dengan selalu mengedepankan kesadaran, maka kemerdekaan bisa ditemukan di sela-sela rutinisme kerja. 

Jika dilihat dari keseluruhan baris puisi, maka kalimat kesadaran yang mulia bisa menjadi model dari pusat makna yang ada. Kesadaran yang mulia sendiri membuktikan adanya kualitas kemanusiaan. Manusia akan memperteguh kualitas kemanusiaannya ketika ia bisa memaknai kehidupan dengan sebuah kesadaran. Dari sini inti makna puisi dapat ditebak, yaitu humanisasi/emansipasi (pemanusiaan).

Budaya industrialisasi, yang di antara simbolnya adalah munculnya pabrik-pabrik, telah menggiring manusia untuk cenderung menjadi mesin dan terjebak dalam rutinisme yang menyebabkannya kehilangan dimensi kemanusiaan (mengalami dehumanisasi). Dehumanisasi menyebabkan manusia kehilangan kemerdekaannya, kemerdekaan untuk menentukan eksistensinya. Manusia terkungkung oleh benda-benda. 

Di sinilah diperlukannya upaya humanisasi atau emansipasi, berupa mengembalikan manusia kepada kemanusiaannya. Upaya itu adalah dengan menghadirkan kembali kesadaran yang mulia, tanpa harus menolak secara membabi-buta budaya industrialisasi, tanpa harus menghancurkan pabrik-pabrik, tanpa harus mogok kerja. 

Jika seluruh instrumen industrialisasi memahami dan dipahami secara kesadaran yang mulia, maka kemanusiaan tetap bisa ditegakkan dan kemerdekaan tetap bisa ditemukan di dalam benang elektronik. Semangat untuk menegakkan hal demikian disebut semangat amar ma’ruf.

Semangat Nahyi Munkar (Liberasi)
Secara sederhana nahyi munkar diartikan mencegah kemungkaran. Mencegah kemungkaran ini bisa berupa membebaskan kehidupan dari segala bentuk kejahatan. Ia bersifat liberatif. Liberasi bisa menyentuh ke seluruh aspek kehidupan, terutama aspek sosial-politik dan ekonomi. 

Puisi untuk mewakili semangat nahyi munkar (liberasi) dari kumpulan Makrifat Daun Daun Makrifat adalah sebuah puisi tanpa judul yang bernomor 48. 

Sebagai hadiah malaikat menanyakan
apakah aku ingin berjalan di atas mega
dan aku menolak
karena hatiku masih di bumi
sampai ejahatan terakhir dimusnahkan
Sampai dhuafa dan mustadhafin
diangkat Tuhan dari penderitaan

Puisi di atas memperlihatkan adanya aku partikular yang menegaskan etiknya untuk tetap terlibat dengan aktivisme sosial melebihi dari iming-iming kenikmatan asketisisme spiritual berjalan di atas mega, sehingga kejahatan terakhir musnah dan orang-orang lemah terlepas dari penderitaan. Penyampaian makna ini diperkuat oleh penghadiran beberapa polarisasi kata di dalamnya, terutama polarisasi antara mega dengan bumi. 

Tawaran untuk menikmati indahnya pengasingan mistik berjalan di atas mega ditolak oleh aku partikular. Aku partikular menolak karena kakiku masih di bumi. Sebagai bukti dari penolakan kepada pengasingan mistik itu adalah keinginan aku partikular untuk menyaksikan kejahatan terakhir dimusnahkan dan dhuafa dan mustadhafin / diangkat Tuhan dari penderitaan. 

Etik menolak untuk pengasingan mistik, etik menolak kejahatan, etik menolak kependeritaanan dhuafa dan mustadzafin adalah etik liberatif. Di dalamnya terkandung semangat untuk membebaskan, membebaskan manusia dari kejahatan dan dari penderitaan. Karena itulah, inti makna dari puisi ini adalah semangat liberasi. 

Liberasi yang muncul dari puisi ini adalah liberasi yang bersifat sosial-politik dan ekonomi. Memusnahkan kejahatan adalah bentuk liberasi yang bersifat sosial-politik itu. Di dalamnya terkandung hasrat untuk menegakkan HAM, melawan otoritarianisme dan kediktatoran, juga melawan segala kejahatan sosial. Mengangkat penderitaan merupakan bentuk liberasi yang bersifat ekonomi. Di sini terkandung hasrat untuk menghilangkan adanya kesenjangan ekonomi, “Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu” (Al Hasyr: 7).

Semangat Iman bi Allah (Transendensi)
Iman bi Allah berarti percaya kepada Allah S.W.T. Dikontekskan dengan pembahasan sebelumnya, maka semangat amar ma’ruf (emansipasi/humanisasi) dan nahyi munkar (liberasi) itu harus dirujukkan kepada keimanan kepada Tuhan. Puisi tanpa judul bernomor 47 representatif untuk mewakili tema ini. 

Suatu hari kutemukan
burung di sangkar termenung membungkam
aku bertanya dan dengan sedih dia mengatakan
Mereka yang melupakan Tuhan
tak berhak mendengar burung bernyanyi

Puisi menampakkan adanya aku partikular yang tengah diajari oleh peristiwa pemberontakan sebuah burung terhadap perilaku kontraliberatif dan dehumanisatif dari manusia karena manusia melupakan Tuhannya.

Karena adanya mereka (manusia) yang melupakan Tuhan menyebabkan burung terpenjara di sangkar (kontraliberatif dan dehumasisatif). Keterpenjaran ini menyebabkan burung melakukan upaya protes (semangat humanisasi+liberasi), yaitu dengan termenung membungkam dengan anggapan bahwa mereka yang melupakan Tuhan itu memang tidak pantas mendengarkan burung bernyanyi. 

Melupakan Tuhan merupakan perbuatan yang kontradiktif bagi keimanan, bagi semangat transendensi. Hilangnya keimanan menyebabkan dominannya perilaku yang kontradiktif bagi semangat humanisasi (amar ma’ruf) dan liberasi (nahyi munkar). Dengan kata lain, membangun upaya humanisasi dan liberasi harus tetap berpijak pada landasan semangat transendensi (iman bi Allah).*** 

Daftar Pustaka:
  • Hadi W.M., Abdul, 1989, “Semangat Profetik Sastra Sufi dan Jejaknya dalam Sastra Modern” dalam majalah Ulumul Quran No. 1, Jakarta: Aksara Buana
  • ________, 1999, Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik, Jakarta: Pustaka Firdaus
  • Kartanegara, R. Mulyadhi, 1986, Renungan Mistik Jalal ad-Din Rumi, Jakarta: Pustaka Jaya
  • Kuntowijoyo, 1993, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan
  • ________, 1995, Makrifat Daun Daun Makrifat, Jakarta: Gema Insani Press
  • ________, 1997, “Menuju Ilmu Sosial Profetik” dalam Republika, Kamis, 7 Agustus 1997, Jakarta
  • Luce, Miss dan Claude Maitre, 1993, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, diterjemahkan oleh Djohan Effendi, Bandung: Mizan
  • Rifai, Aminudin, 2002, “Makna Puisi ‘(Sajak-sajak yang dimulai dengan Bait Al-Barzanji)’ Kuntowijoyo Pendekatan Semiotika Riffaterre”, skripsi sarjana sastra Indonesia, Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM
  • Tim DKJ (ed.), 1984, Duapuluh Sastrawan Bicara. Jakarta: Sinar Harapan
  • Wangsitalaja, Amien, 2001, “Kuntowijoyo: Dua Budaya Tiga Resep” dalam Kakilangit 49 Majalah Horison XXXIV/2/2001, Jakarta: Yayasan Indonesia

PEMBELAJARAN MORAL, ETIKA, DAN KARAKTER MELALUI KARYA SASTRA
Abstrak
Aspek penekanan dalam pengajaran sastra adalah orientasinya pada pengembangan karakter siswa, di samping manfaatnya secara estetis. Penekanan tersebut sudah seharusnya pula menjadi bagian terpenting di dalam pembelajaran sastra yang meliputi empat ranah keterampilan bersastra, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Pembelajaran sastra memberikan peluang yang potensial didalam pengembangan pendidikan karakter di samping pengalaman-pengalaman estetis itu sendiri. Pengintegrasian pendidikan karakter, moral, dan etika dalam setiap matapelajaran yang ada dapat dilakukan, termasuk dalam matapelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Karya sastra yang merupakan salah satu materi yang termasuk dalam matapelajaran ini dapat dijadikan sebagai media, wahana pembelajaran etika, moral, dan karakter meskipun tidak lantas karya sastra dijadikan sebagai kitab etika dan moral. 
Kata Kunci: Pembelajaran Moral, Etika, Karakter, Karya Sastra

Pendahuluan
Secara tegas, arah kebijakan pengajaran sastra dinyatakan dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Salah satu yang dijelaskan dalam hal ini adalah tujuan pengajaran sastra, yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan (1) memikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, dan (2) menghargai dan mengembangkan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

Berdasarkan tujuan tersebut, dapat kita cermati bersama bahwa yang menjadi penekanan dalam pengajaran sastra adalah orientasinya pada pengembangan karakter siswa, di samping manfaatnya secara estetis. Penekanan tersebut sudah seharusnya pula menjadi bagian terpenting di dalam pembelajaran sastra yang meliputi empat ranah keterampilan bersastra, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Pembelajaran sastra memberikan peluang yang potensial didalam pengembangan pendidikan karakter di samping pengalaman-pengalaman estetis itu sendiri, yang disebut Renne Wellek dan Austin Warren sebagai bentuk ketenangan pikiran[1]. Di samping itu, proses kreatif sastra berdasarkan paradigma dulce et etile—yang dijelaskan sebagai kenikmatan estetis untuk menghibur dan kegunaan etis moral—jelas juga dapat menjadi salah satu wahana belajar etika, moral, dan karakter karena utile dicondongkan pada makna moral. 

Dalam kenyataannya, kondisi, keberadaan, kedudukan di dunia modern seperti saat ini menimbulkan pertanyaan, dapatkah karya sastra-karya sastra tersebut digunakan dan dimanfaatkan sebagai salah satu wahana belajar moral, etika, dan karakter? Sekalipun dapat, efektifkah penggunaannya sebagai wahana pembelajaran etika, moral, dan karakter? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting, sebab, sekalipun sering mengandung muatan moral dan karakter, suatu karya sastra jelas tidak dapat disebut sebagai kitab atau naskah etika, moral, dan karakter? Yang juga kita ketahui, karya sastra, terlebih karya sastra modern jarang sekali atau bahkan tidak sama sekali digunakan sebagai kitab rujukan atau panduan etika dan moral. Bahkan visi misi etis dan moral tertentu biasanya sudah tidak menjadi pertimbangan, sumber utama atau obsesi proses kreatif sang sastrawan.[2] 

Setelah abad kesembilan belas, sastra Barat maupun sastra Indonesia memiliki kecenderungan untuk tidak menonjolkan moral—utile, yang menjadi salah satu paradigma penciptaan sebuat karya sastra. Mengapa demikian? Sebabnya, penonjolan moral dikatakan akan mengurangi nilai estetika karya sastra atau dulce. Begitu pembaca diberi tahu mengenai moral karya sastra yang dihadapinya, apalagi kalau penonjolan itu bersifat menggurui, unsure dulce atau kenikmatan akan berkurang.[3]

Menurut Djoko Saryono, pembelajaran moral dan karakter lebih membutuhkan contoh dan teladan nyata, faktual, dan empiris, bukan sekadar kata-kata, petuah, petitih, dan contoh imajinatif-fiksional seperti dalam sastra modern. Pembelajaran moral dan karakter yang bermediakan sastra modern malah akan menjadi terlalu verbalistis, simplistis dan reduktif (menyederhanakan dan menyepelekan)[4]. Mengapa demikian? Pembelajaran etika, moral, dan karakter mengutamakan tidakan nyata, praksis dalam kehidupan sehari-hari dan membutuhkan contoh atau teladan, sama seperti yang diungkapkan oleh Mohammad Nuh, bahwa setidaknya perlu dua hal utama selain pengajaran—dalam pembelajaran etika, moral, dan karakter—yaitu keteladanan (role model) dan pembiasaan (habituation).[5]

Kadang, pembelajaran etika, moral, dan karakter dipahami oleh sebagian orang dengan pandangan sempit. Pengetahuan dan pemahaman semata, terlebih ceramah dan cerita dapat dijadikan wahana belajar etika, moral, dan karakter. Tidak selalu demikian, sebab pengetahuan dan pemahaman saja tidak cukup membuat seseorang dapat menyelaraskan pengetahuan, ucapan, dan perbuatannya. Hal ini berarti, tindakan bermoral, etis, dan berkarakter, dapat tumbuh dan berkembang dengan baik karena kebiasaan atau praktik berkelanjutan. Hal ini juga dapat kita yakini jika kita menyimak kesimpulan salah satu pendiri dan guru bangsa kita K.H. Hasyim Asy’ari dalam karya klasiknya, Adabul ‘Alim wal Muta’allim, bahwa semua amal ibadah, baik rohani dan jasmani, perkataan maupun perbuatan, tidak akan dihitung kecuali disertai dengan perilaku serta budi pekerti yang terpuji.[6]

Sebagai konsekuensinya, penumbuhan dan pengembangan sikap yang bermoral membutuhkan pelajaran nyata, konkret, dan dapat diteladani dalam kehidupan sehari-hari dalam proses pembiasaan atau habituation, bukan sekadar pembelajaran di kelas, terlebih dalam bidang sastra semata. Kembali ke pertanyaan sebelumnya tentang efektifitas penggunaan karya sastra sebagai wahana belajar etika, moral, dan karakter. Jika telah dikatakan bahwa pembelajaran mengenai hal itu membutuhkan hal-hal yang sifatnya praksis, bukan hanya di kelas, maka bagaimanakah penerapan paradigma dulce et etile yang memberi kenikmatan literer-estetis dan kegunaan etis, moral, spiritual dalam setiap karya sastra modern seperti saat ini dalam kaitannya sebagai wahana belajar etika, moral, dan karakter?

Pemaknaan Sebuah Karya Sastra Sebagai Hasil Cipta Sastra
Karya adalah kerja; pekerjaan[7]; sedangkan sastra adalah bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai di kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari); pokok budaya yang diciptakan oleh sekelompok masyarakat atau anggota masyarakat.[8] Sastra juga dikatakan sebagi karya tulis yang, jika dibandingkan dengan karya tulis yang lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, serta keindahan dalam isi dan ungkapannya. Sementara itu, karya sastra adalah ciptaan yang apabila dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai keunggulan seperti keaslian, keartistikan, dan keindahan dalam isi dan ungkapannya.

Pengertian tersebut menjadi sangat umum untuk menggambarkan sebuah karya sastra. Sementara, perlu kita sadari, bahwa sastra, baik sastra klasik (lama) maupun sastra modern memiliki pengertian yang sangat sulit untuk dirumuskan secara detail. Rumusan-rumusan yang diajukan oleh para ahli, awam, seniman kerap sekali hanya terbatas pada sebagian kecil fenomena, bahkan sering juga gagal menggambarkan dan menjelaskan pengertian sastra dan semua kompleksitas fenomena dalam sastra karena fenomena-fenomena dalam sastra selalu berubah dan berkembang secara kontinu seiring berkembangnya waktu. Oleh sebab itulah, perumusan pengertian soal sastra cukup kita definisikan sebagai sebuah ciptaan (works) kreatif (inovatif-inventif) manusia yang terekspresikan ke dalam bahasa khas, yang mengedepankan (malah mungkin menomorsatukan) sifat estetis atau keindahan dengan mengandung karakteristik dan fungsi tertentu.[9]

Banyak disebutkan karakteristik sastra oleh para sastrawan, ahli sastra, dan atau ahli kebudayaan. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut;
  1. berada dalam dimensi simbolis kebudayaan dengan tetap berhubungan tak terpisahkan dengan dimensi sosial dan material kebudayaan, 
  2. menekankan stilisasi, simbolisasi, dan metafora serta konotasi [bukan proposisi, denotasi dan linieritas] baik dalam struktur maupun suprastruktur,
  3. sangat mengutamakan dan menghargai otentisitas, keunikan, partikularitas, dan intersubjektivitas [bukan keumuman, keteraturan, keempirisan, dan objektivitas ilmiah], 
  4. menekankan kebebasan, keterbukaan, bahkan kemerdekaan tafsir dan penciptaan [bukan kepastian dan ketertutupan penciptaan dan tafsir],
  5.  merupakan wujud sekaligus hasil olah intelektual manusia yang sifatnya imajinatif, literer, dan afektif-kognitif [bukan yang rasional-empiris dan positif],
  6.  diciptakan dengan pandangan, paham, dan sikap tertentu, dan 
  7. selalu terkait-terikat dengan konteks kehidupan manusia [sebab sastra tak mungkin tercipta dari kekosongan].[10]
Dari beberapa macam karakteristik yang telah dijelaskan tersebut, sastra memiliki banyak makna yang berbeda dan hal tersebut menunjukkan bahwa fenomena-fenomena yang terdapat dalam sastra sangat kompleks, sehingga karya sastra selalu memiliki kedudukan dan fungsi tertentu—dalam setiap hal dan tujuan tertentu pula. Karya sastra boleh jadi diciptakan untuk memberikan fungsi kesenangan, kegembiraan, kenikmatan, dan hiburan. Karya sastra juga bisa berfungsi sebagai sarana untuk mengembangkan imajinasi seseorang. Dalam hal ini dikatakan bahwa sastra memiliki fungsi imajinatif. Karya sastra yang lain, juga dapat memiliki fungsi spiritual, memiliki nilai-nilai moral yang padat dan juga dipenuhi nilai-nilai didaktis yang menggugah dan memotivasi dalam kehidupan manusia sebagai makhluk individual maupun sosial.

Bagaimanapun bentuk karya sastra tersebut, pemaknaan karya sastra sebagai hasil cipta sastra seseorang—seniman, sastrawan, ahli budaya, guru, awam—akan menjadi berkembang seiring dengan perkembangan waktu. Lagi pula, sepertinya tidak mungkin, jika karya sastra diciptakan tanpa fungsi tertentu (personal-individual dan sosial). Dengan penjelasan yang lain bahwa karya sastra, dengan tujuan dan fungsi apapun, akan tetap eksis dan terus menerus ada dalam kehidupan manusia hingga masa yang akan datang.

Implikasi yang diperoleh dari penjelasan tersebut adalah kedudukan dan keberadaan karya sastra menjadi sangat kompleks. Oleh sebab itulah, fungsi-fungsi karya sastra yang telah disebutkan memberikan efek keberagaman jenis karya sastra. Beberapa jenis karya sastra tersebut adalah sastra lama-sastra baru, sastra lisan-sastra tulis, sastra lokal-sastra nasional-sastra internasional, sastra asli-sastra terjemahan, sastra populer, sastra kontemporer, sastra anak, sastra religius, dan jenis sastra yang memiliki tendensi kepada hal-hal tertentu (politik, sosial, agama, keyakinan). Itulah mengapa karya sastra dikatakan sebagai suatu hal yang sangat kompleks, terlebih dengan diwujudkannya karya sastra dalam berbagai jenis-fungsi-tujuan tertentu menunjukkan betapa majemuknya karya sastra yang ada dalam kehidupan manusia.

Karya Sastra yang Baik
Karya sastra dan karya seni yang baik adalah karya yang mempunyai nilai (value). Nilai tersebut dikemas dalam wujud struktur karya sastra, yang secara implisit terdapat dalam alur, latar, tokoh, tema, dan amanat. Berikut adalah beberapa nilai yang terkandung dalam karya sastra.
  • Nilai hedonik (hedonic value), yaitu nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca. 
  • Nilai artistik (artistic value), yaitu nilai yang dapat memanifestasikan suatu seni atau keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan.
  • Nilai kultural (cultural value), yaitu nilai yang dapat memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban, dan kebudayaan.
  • Nilai etis, moral, dan agama (ethical, moral,and religious value), yaitu nilai yang dapat memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral, atau agama.
  • Nilai praktis (practical value), yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Selain itu, karya-karya tersebut sebaiknya juga dapat memberikan informasi yang berhubungan dengan pemerolehan nilai-nilai kehidupan, memperkaya pandangan atau wawasan kehidupan sebagai salah satu unsur yang berhubungan dengan pemberian arti maupun peningkatan nilai kehidupan manusia itu sendiri. Sebagai tambahan, karya sastra dan karya seni yang baik yaitu karya yang bisa memberikan katarsis dan sublimasi kepada penikmatnya. Katarsis adalah kemampuan suatu karya sastra maupun seni dalam menjernihkan batin penikmatnya dari segala kompleksitas batin setelah melaksanakan kegiatan apresiasi secara akrab dan sungguh-sungguh sehingga terjadi semacam peleburan antara penikmat dengan dunia-dunia yang diciptakan pengarangnya. Dalam batas tertentu, sublimasi masih dapat dianggap bermanfaat karena melalui sublimasi seringkali penikmat karya sastra ataupun seni mendapat kepuasan atau kesegaran baru.

Sebagai pemahaman lebih lanjut, sepanjang kehidupannya, sastra tidak selalu diciptakan sesuai dengan keharusan aturan-aturan tertentu karena penciptaan sebuah karya sastra setidaknya memiliki empat pendekatan. Pendekatan tersebut adalah pendekatan ekspresif, pragmatik, mimetik, dan objektif. Masing-masing pendekatan tersebut memiliki tujuan yang berbeda, sehingga cipta sastra yang ditulis dengan pendekatan berbeda juga akan menghasilkan sebuah karya sastra yang berbeda pula (bentuk, tujuan, fungsi, isi).

Oleh sebab itulah, ada karya-karya sastra yang mengandung muatan etika, moral, karakter yang kental, terdapat juga karya sastra edukatif yang memberikan pelajaran tertentu bagi pembacanya, karya sastra religius yang memberikan penekanan terhadap hubungan manusia dengan Tuhan, Allah SWT, ekspresi kegembiraan, kesedihan, dan pengalaman pribadi manusia dengan Tuhannya, dan karya sastra yang bernilai praktis, yang dapat memberikan contoh dan mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Akan tetapi, sesegera mungkin harus disadari bahwa terdapat jenis karya sastra lainnya yang berbeda 180 derajat dengan jenis karya sastra tersebut. Ada jenis karya sastra yang sengaja hanya diberi fungsi sebagai kenikmatan atau rekreasi, ada juga jenis karya sastra yang tidak mengandung muatan moral dan etika, serta karakter. Bahkan, ada juga jenis karya sastra yang sengaja tidak diberi nilai-nilai tertentu, sehingga karya sastra tersebut belum dapat dikatakan karya sastra yang baik. 

Judul-judul karya sastra seperti Ramayana, Mahabharata, Wulang Reh, Wedhatama, La Galigo, Malin Kundang, dan Syair Perahu memang sarat dengan muatan etika dan moral, kental fungsi etis, moral, dan edukatif, dan terkesan kuat menjadi penyimpan norma etika-moral dan karakter, sehingga karya-karya sastra tersebut relatif efektif sebagai wahana belajar etika, moral, dan karakter.[11] Hal tersebut karena karya sastra-karya sastra tersebut mengandung nilai-nilai (value) tertentu, yaitu nilai etis, moral, dan agama (ethical, moral,and religious value), yang dapat memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral, atau agama.

Etika, Moral, Dan Karakter
Hakikat moral dapat dipahami sebagai sesuatu yang ingin disampaikan kepada orang lain—moral dalam karya sastra tulis memiliki arti sesuatu yang ingin disampaikan oleh penulis terhadap pembacanya—yang selalu berkonotasi positif, bermanfaat bagi kehidupan, dan mendidik. Istilah ‘disampaikan’ pada pengertian tersebut, lebih merujuk pada pilihan kata ‘mengajarkan’, sehingga karya sastra hadir dan ditulis sebagai salah satu alternatif untuk memberikan pendidikan dan mengajarkan moral kepada pembaca.[12]

Kehadiran moral dalam karya sastra, dipandang sebagai semacam saran terhadap perilaku moral tertentu yang bersifat praktis, tetapi bukan resep atau petunjuk bertingkah laku.[13] Hal ini menunjukkan bahwa meskipun penciptaan sebuah karya sastra memiliki paradigma dulce et utile, karya sastra tidak mungkin dapat dijadikan sebagai kitab atau naskah etika, moral, dan karakter. Sifat praktis yang dikatakan Burhan Nurgiyantoro dalam hal ini adalah karena ajaran moral tersebut disampaikan lewat sikap dan perilaku konkret seperti yang ditampilkan oleh para tokoh cerita. Tokoh-tokoh cerita tersebut dipandang sebagai model untuk menunjuk dan mendialogkan kehidupan sebagaimana yang diidealkan oleh penulis cerita.

Jenis Moral dan Teknik Penyampaiannya
Jenis moral dapat menjadi berbagai macam jenisnya bergantung dari sudut pandang mana dilihat (point of view). Jika dilihat dari sudut persoalan hidup manusia yang terjalin atas hubungan-hubungan tertentu yang mungkin ada dan terjadi, jenis moral dapat dikelompokkan dalam beberapa persoalan, yaitu persoalan hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia dengan sesama, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan.[14] Berdasarkan keempat hubungan tersebut, moral diperinci ke dalam jenis-jenis tertentu, yang dapat dipandang sebagai variannya, yang secara konkret ditemukan dalam sebuah cerita dengan jumlah yang relatif banyak. 

Teknik penyampaian moral dalam sebuah karya sastra tidak berbeda dengan penyampaian tema cerita, misalnya. Teknik penyampaian moral ini dapat dilakukan secara eksplisit dan implicit, atau langsung dan tidak langsung.[15] Teknik penyampaian secara langsung pada umumnya berwujud petuah langsung oleh penulis karya sastra—lazimnya dalam bentuk narasi—dan tidak menjadi bagian aksi-reaksi alur dan atau karakter tokoh dalam cerita. Sebaliknya, teknik penyampaian secara tidak langsung dilakukan melalui jalinan cerita dan karakter tokoh. Hal tersebut dapat dipahami karena karya sastra, misalnya cerita fiksi, tidak lain adalah kisah tentang tokoh dan tokoh-tokoh itulah yang merupakan pelaku dan penderita peristiwa/konflik. Lewat ajaran moral yang disaksikan dalam karya sastra itulah, harapannya pembaca bisa terbantu dalam memahami, menjalani, dan menghadapi tantangan dalam kehidupan.

Karakter dan Pendidikan Karakter
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.[16] Seorang ahli teori sosial di George Washington University, Amitai Etzioni, menurut Daniel Goleman, juga menulis bahwa karakter sebagai bakat psikologis yang dibutuhkan oleh perilaku moral. Artinya, karakter dan moral adalah dua hal yang sangat identik.[17] Sehingga pembicaraan mengenai kedua hal ini, termasuk di dalamnya hal-hal mengenai perbuatan etis tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Adapun yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Allah SWT, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan. Dalam praktiknya, pendidikan karakter memiliki beban untuk mengajarkan dua tugas penting, yaitu tugas untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan tugas untuk mengembangkan kemampuan moral. Pengembangan kemampuan intelektual memiliki orientasi pada terciptanya siswa yang cerdas dan memiliki ketajaman intelektual, sedangkan pengembangan kemampuan moral memiliki orientasi pada terciptanya siswa yang memiliki integritas diri dan berkarakter kuat.[18] 

Karena tugas-tugas yang membebani pendidikan karakter itulah, di sekolah, pendidikan karakter diintegrasikan dalam suatu pembelajaran tertentu dan dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. Hal ini memiliki tujuan agar pengembangan kemampuan intelektual dan moral, seperti yang tadi sudah disampaikan, dapat berjalan beriringan. Permasalahannya, melaksanakan dua tugas secara bersamaan bukanlah pekerjaan yang mudah, terlebih kondisi pendidikan yang kita ketahui bersama saat ini menghadapi banyak persoalan. Selain itu, praktik pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kehadiran model sangatlah penting di dalam fase pertumbuhan dan pembentukan siswa melalui proses imitasi dan identifikasi.[19]

Sastra Dalam Hubungannya Sebagai Media Pembelajaran Etika, Moral, Dan Karakter
Pendidikan dan pembelajaran mengenai etika, moral, dan karakter sangat penting dan dibutuhkan dalam kehidupan. Perkembangan dunia yang semakin maju seperti sekarang ini seolah menuntut semua manusia untuk memiliki penyaring (filter) yang kuat dalam menghadapi arus kehidupan global yang semakin membahayakan. Salah satu filter yang harus dimiliki setiap individu dan sekarang ini sedang dalam pelaksanaan pendidikan adalah pendidikan moral dan karakter. Mengapa demikian penting pendidikan moral, etika, dan karakter ini? Jawabannya adalah karena pendidikan moral, etika, dan karakter tersebut menjadi resep paling tepat untuk menyelesaikan persoalan yang selama ini melanda bangsa Indonesia.

Pendidikan memang bukanlah sekadar transfer pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga sebagai alat wahana pembentukan kepribadian (character building), mulai dari pola pikir, kejiwaan dan pola tingkah laku (attitude). Oleh sebab itulah, ada kaitan yang sangat penting jika menggabungkan pendidikan (yang berorientasi pada kecerdasan berpikir) dengan pendidikan (yang berorientasi pada pengembangan kemampuan moral memiliki orientasi pada terciptanya siswa yang memiliki integritas diri dan berkarakter kuat). Sekali lagi dikatakan, bahwa penanaman pendidikan karakter tidak dapat dilakukan dengan cara menghafal setumpuk dalil dan teori tentang kebaikan, kejujuran, ketulusan, dan karakter luhur lainnya. Hal tersebut memang penting, namun tidak cukup. “The dimensions of character are knowing, loving, and doing the good”, kata Thomas Lickona[20] yang diartikan bahwa dimensi karakter adalah mengetahui atau pengetahuan tentang kebaikan, mencintai kebaikan, dan melakukan kebaikan. Jadi, tidak perlu ada yang meragukan perlunya pembentukan karakter di semua jenjang pendidikan. Sebab, bila seseorang kehilangan karakternya, ia kehilangan sisi genuine-nya dan kehadirannya di publik kehilangan kemanfaatan.[21]

Untuk itulah, pendidikan moral, etika, dan karakter ini perlu dilaksanakan dengan baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, maupun sekolah. Sekali lagi, pembelajaran mengenai hal ini membutuhkan contoh nyata, keteladanan (role model) dan pembiasaan (habituation), agar mencapai sasaran yang diinginkan, yaitu terbentuknya manusia etis, bermoral, memiliki integritas yang tinggi, dan berkarakter kuat.

Menurut Inayat Khan, kebaikan adalah panggilan fitrah dan agama diturunkan Tuhan untuk mengembangkan bakat bawaannya tersebut dan pendidikan menuntunnya agar terhindar dari salah arah. Selain itu, neurosains juga membuktikan bahwa otak manusia dirancang sedemikian rupa sehingga bersikap baik kepada orang lain itu membuat kita merasa nyaman; berbagi itu menyenangkan. Jadi, kebaikan itu sejatinya tak perlu dijejalkan dari luar. Cukup dengan cerminan yang memantulkan kilau kebaikan dalam diri mereka.[22]

Sementara itu, penjelasan mengenai pembiasaan untuk berbuat baik dijelaskan dengan pengertian bahwa pembentukan karakter yang luhur tidak dapat mungkin langsung dicapai dengan tiba-tiba. Ia membutuhkan tahapan-tahapan layaknya mengukir, memahat, melukis (Inggris: ‘to engrave’), yang merupakan arti dari charassein (Yunani: karakter). Sembari memahami hakikat tentang pembiasaan tersebut, mari kita ingat pesan melalui lagu kasidah: belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu (at-ta’allum fis shighari ka an-naqsyi ‘alal hajari).[23] Dari lagu kasidah itu pun, dijelaskan bahwa pembentukan kebiasaan yang dilakukan di masa kecil akan lebih melekat jika dibandingkan dengan pembentukan kebiasaan yang dilakukan di masa dewasa. Jadi, pembiasaan tersebut mentransformasikan suatu nilai menjadi budaya-kebiasaan-habit. Dari knowing the good menjadi habit of the mind, dari desiring the good menjadi habit of the heart, dan dari doing the good menjadi habit of action.

Penerapannya di Sekolah
Jika penjelasan mengenai pembelajaran karakter sudah dipahami, lalu bagaimanakah penerapan penanaman karakter, etika dan moral tersebut, khususnya dalam dunia pendidikan? Sementara, jika kita mau berpikir, kurikulum sekolah sudah penuh sesak dengan matapelajaran yang sudah ada, sehingga tidak mungkin memunculkan matapelajaran etika, moral, dan karakter. Jika pun dimunculkan, matapelajaran ini akan membuat beban siswa bertambah. Tak hanya siswa, guru dan kepala sekolah akan dibuat lebih pusing. Oleh sebab itulah, pendidikan etika, moral, dan karakter pada akhirnya diintegrasikan dalam matapelajaran-matapelajaran yang ada seperti yang saat ini sedang dilakukan.[24] Salah satunya adalah matapelajaran bahasa dan sastra Indonesia. 

Matapelajaran ini memberikan peluang untuk menggabungkan, mengintegrasikan, dan menyisipkan pembelajaran etika, moral, dan karakter di dalamnya. Dengan materi bahasa dan sastra, siswa dapat diajak untuk melakukan apresiasi, refleksi, dan kontemplasi persoalan-persoalan etis dan moral yang tercermin dalam karya sastra yang menjadi materi ajar.[25] Selain itu, ada beberapa nilai strategis dari sastra yang bermanfaat bagi siswa. Pertama, secara psikologis, manusia memiliki kecenderungan utnuk menyukai realita dan fiksi. Kedua, karya sastra memperkaya kehidupan pembacanya melalui pencerahan pengalaman dan masalah pribadi dan melalui sastra, pembaca belajar bagaimana orang lain menyikapi semua itu. Ketiga, karya sastra adalah harta karun berbagai kearifan lokal yang seyogyanya diwariskan secara turun-temurun lewat pendidikan. Keempat, berbeda dengan keterampilan berbahasa (menyimak, menulis, berbicara, membaca), sastra memiliki isi, yakni nilai-nilai dan interelasi kehidupan. Kelima, melalui sastra, siswa ditempatkan sebagai pusat dalam latar pendidikan bahasa yang mengoordinasikan komunikasi lisan, eksplorasi sastra, dan perkembangan pengalaman personal dan kolektif.[26]

Pendekatan Pembelajaran Sastra
Dalam hubungan ini—antara nilai-nilai yang terdapat dalam sastra dan praktik pembelajaran etika, moral, karakter—diperlukan pendekatan yang tepat[27] dan disarankan untuk memilih materi yang juga tepat dan cocok untuk memberikan pengalaman etis dan moral, serta diharapkan dapat menumbuhkan karakter luhur siswa. Karena, seperti yang telah disinggung di muka, karya sastra memiliki berbagai macam jenis dengan tujuan-tujuan yang tidak dapat disamakan, sehingga pemilihan jenis karya sastra juga menjadi poin penting untuk dilakukan agar penyampaian dan penanaman moral, etika, dan karakter melalui karya sastra tercapai dengan baik.

Beberapa pendekatan pembelajaran sastra yang mungkin dilakukan antara lain pendekatan moral, apresiasi, estetika dan stilistika, resepsi sastra, dan tidak terkecuali pula dengan hermeneutik sebagai ilmu tafsir teks.[28] Pada dasarnya, semua pendekatan tersebut baik, hanya saja dalam penerapannya memang harus disesuaikan dengan kemampuan pembelajar (dalam hal ini adalah guru sastra) dan disesuaikan juga dengan kondisi dan kemampuan pebelajar (siswa). Yang juga menjadi pemeran penting lainnya adalah buku-buku sastra atau karya sastra yang dijadikan sebagai materi ajar. 

Dengan membaca sastra, pembaca akan bertemu dengan bermacam-macam orang dengan bermacam-macam masalah. Melalui sastra, pembaca diajak berhadapan dan mengalami secara langsung kategori moral dan sosial dengan segala parodi dan ironinya. Ruang yang tersedia dalam karya sastra itu membuka peluang bagi pembaca untuk tumbuh menjadi pribadi yang kritis pada satu sisi, dan pribadi yang bijaksana pada sisi lain. Pribadi yang kritis dan bijaksana ini bisa terlahir karena pengalaman seseorang membaca sastra telah membawanya bertemu dengan berbagai macam tema dan latar serta berbagai manusia dengan beragam karakter.[29]

Salah satu contoh pembelajaran moral, etika, dan karakter yang dapat dilakukan melalui karya sastra adalah dengan menggunakan salah satu pendekatan sastra (misalnya, pendekatan apresiasi dan kritik sastra). Guru memberikan cerita mengenai legenda Sangkuriang dengan Gunung Tangkuban Perahu atau dongeng Malinkundang dengan sosok batu di suatu tempat yang mirip dengan manusia. Siswa diajak untuk bersama-sama membaca, memahami, dan menghayati cerita dalam karya sastra tersebut, kemudian memberikan apresiasi dan kritik mengenai karya sastra tersebut. Kedua karya sastra tersebut dapat digunakan sebagai materi ajar karena mereka memiliki nilai-nilai yang dapat diambil hikmah serta diaplikasikan ke kehidupan sehari-hari. Dengan berbekal wawasan dan apresiasi yang mendalam mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra, secara perlahan dan bertahap, akan dapat membentuk pribadi siswa yang kuat dengan motivasi dan kontrol diri yang baik. Selain itu, guru juga dapat membuat pembelajaran berbasis proyek (project based learning) dengan mengajar siswa untuk menelaah karya sastra tertentu kemudian merenungkan persoalan-persoalan moral, etis yang diperoleh dalam karya sastra. Serta, siswa diajak untuk menerapkan proyek dengan membuat laporan tentang pengalaman etis dan moral dalam kehidupan sehari-hari dan kemudian mendiskusikannya.[30]

Dengan cara-cara dan tertentu,[31] karya sastra jelas dapat digunakan secara efektif sebagai salah satu media pembelajaran moral, etika, dan karakter di sekolah. Sehingga, dengan pembelajaran sastra yang berkelanjutan, karakter luhur, etika, dan moral yang baik siswa, secara perlahan akan dapat terwujud.

Penutup
Pendidikan karakter sudah sering menjadi pembahasan berbagai kalangan, terutama di kalangan pendidikan. Hal ini karena adanya fakta bahwa siswa sebagai produk pendidikan belum kuat secara kemanusiaan, serta kepribadiannya masih lemah sehingga mudah terpengaruh oleh hal-hal dari luar. Karena itulah, tugas penanaman etika, moral, dan karakter bukan hanya menjadi tugas orang tua sebagai pendidik di rumah, tetapi juga perlu dilaksanakan melalui pendidikan di sekolah. Pengintegrasian pendidikan karakter, moral, dan etika dalam setiap matapelajaran yang ada dapat dilakukan, termasuk dalam matapelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Karya sastra yang merupakan salah satu materi yang termasuk dalam matapelajaran ini dapat dijadikan sebagai media, wahana pembelajaran etika, moral, dan karakter meskipun tidak lantas karya sastra dijadikan sebagai kitab etika dan moral. Untuk diperhatikan, pembelajaran moral, etika, dan karakter melalui karya sastra harus dipilih dengan baik agar karya sastra yang dijadikan materi ajar sesuai dan dapat secara maksimal dijadikan sebagai wahana dan media pembelajaran etika, moral, dan karakter. Dan, jika pemilihan materi ajar dari karya sastra telah dipilih dengan bijaksana dan sesuai, serta disampaikan dengan cara, media, dan sarana yang tepat, maka pembentukan karakter secara perlahan-lahan (sabar), dengan proses yang berkesinambungan (istiqamah), serta cara-cara kreatif dan inovatif (thariqah ahammu minal maddah) akan dapat dicapai dengan baik.

Daftar Pustaka
  1. Al- Banjari, R. R. 2008. Membaca Kepribadian Manusia Seperti Membaca Alquran. Jogjakarta: Diva Press.
  2. Asy’ari, Hasyim. 2010. Adabul ‘Alim wal Muta’allim. Jombang: Tebuireng.
  3. Chaedar, Al Wasilah. “Pengajaran Berbasis Sastra” dalam http://www.pikiran-rakyat.com, (diakses tanggal 28 April 2013).
  4. Darma, Budi. 2004. Pengantar ke Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.
  5. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
  6. Goleman, Daniel. 1997. Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosional Mengapa EQ Lebih Penting Daripada IQ, T. Hermaya (terj.). Jakarta: Gramedia.
  7. Koesoema, Doni. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo. 
  8. Kosasih, E. 2013. Sastra Klasik sebagai Wahana Efektif dalam Pengembangan Karakter. Bandung: UPI.
  9. Lickona, Thomas. 2004. Character Matters. New York: Touchstone.
  10. Nuh, Mohammad. 2014. Menyemai Kreator Peradaban. Jakarta: Zaman.
  11. Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Jogjakarta: Gajah Mada Universitu Press.
  12. Patria, Bekti. “Pembelajaran Sastra dan Penanaman Karakter” dalam http://bektipatria.wordpress.com/2010/09/01/sastra-dan-pendidikan-karakter/. Diakses tanggal 7 Juni 2011.
  13. Saryono, Djoko. 2011. Kesusastraan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. 
  14. Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
  15. Wellek, Renne dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan, Melani Budiarta (terj.). Jakarta: Gramedia.
  • [1] Renne Wellek dan Austin Warren. Teori Kesusastraan (terjemahan Melani Budiarta). (Jakarta: Gramedia, 1989), hal. 35.
  • [2] Djoko Saryono, Kesusastraan (Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang, 2011), hal. 1.
  • [3] Budi Darma, Pengantar ke Teori Sastra ( Jakarta: Pusat Bahasa, 2004), hal. 20- 21.
  • [4] Djoko Saryono, Kesusastraan, hal. 2.
  • [5] Mohammad Nuh, Menyemai Kreator Peradaban (Jakarta: Zaman, 2014), hal. 76.
  • [6] Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim wal Muta’allim (Jombang: Tebuireng, 2010), hal. 112.
  • [7] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hal. 645.
  • [8] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ibid, hal. 1272
  • [9] Djoko Saryono, Kesusastraan, hal. 4.
  • [10] Djoko Saryono, Ibid., hal. 4- 5.
  • [11] Djoko Saryono, Kesusastraan, hal. 6.
  • [12] Burhan Nurgiyantoro, Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak (Jogjakarta: Gajah Mada University Press, 2010), hal. 265.
  • [13] Burhan Nurgiyantoro, Ibid.
  • [14] Burhan Nurgiyantoro, Ibid., hal. 266.
  • [15] Burhan Nurgiyantoro, Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak, hal. 267.
  • [16] E. Kosasih, Sastra Klasik sebagai Wahana Efektif dalam Pengembangan Karakter (Bandung: UPI, 2013), hal. 226.
  • [17] Daniel Goleman, Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosional Mengapa EQ Lebih Penting Daripada IQ, T. Hermaya (terj.) (Jakarta: Gramedia, 1997), hal. 406.
  • [18] Doni Koesoema, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Jakarta: Grasindo, 2007), hal. 118.
  • [19] R. R. Al-Banjari, Membaca Kepribadian Manusia Seperti Membaca Alquran (Jogjakarta: Diva Press, 2008), hal. 310- 311.
  • [20] Thomas Lickona, Character Matters (New York: Touchstone, 2004), hal. 74.
  • [21] Mohammad Nuh, Menyemai Kreator Peradaban, hal. 74.
  • [22] Mohammad Nuh, Menyemai Kreator Peradaban, hal. 77.
  • [23] Mohammad Nuh, Ibid.,
  • [24] Kurikulum 2013 atau Pendidikan Berbasis Karakter adalah kurikulum baru yang dicetuskan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI untuk menggantikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum 2013 merupakan sebuah kurikulum yang mengutamakan pemahaman, skill, dan pendidikan berkarakter, siswa dituntut untuk paham atas materi, aktif dalam berdiskusi dan presentasi serta memiliki sopan santun disiplin yang tinggi.
  • [25] Djoko Saryono, Kesusastraan, hal. 9.
  • [26] Al Wasilah Chaedar, “Pengajaran Berbasis Sastra” dalam http://www.pikiran-rakyat.com, diakses tanggal 28 April 2013.
  • [27] Pendekatan yang digunakan dapat berupa pendekatan moral, apresiasi, estetika dan stilistika, resepsi sastra, dan tidak terkecuali pula dengan hermeneutik sebagai ilmu tafsir teks. Lihat dalam E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999).
  • [28] E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hal. 34.
  • [29] Bekti Patria, “Pembelajaran Sastra dan Penanaman Karakter” dalam http://bektipatria.wordpress.com/2010/09/01/sastra-dan-pendidikan-karakter/. Diakses tanggal 7 Juni 2011
  • [30] Djoko Saryono, Kesusastraan, hal. 10.
  • [31] Ada beberepa komponen-komponen penting di dalam pengembangan strategi pembelajaran sastra, yaitu penggalian potensi siswa, pengembangan materi, penggunaan metode yang kreatif dan inovatif, pemanfaatan media yang tepat, dan penyusunan perangkat evaluasi yang tepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar