Selasa, 17 Januari 2017

Definisi Paradigma Revolusi Sains

2.1 Definisi Paradigma Revolusi Sains
2.1.1 Pengertian Paradigma
Paradigma Revolusi Sains berasal dari tiga kata yaitu Paradigma, Revolusi dan Sains atau Ilmu pengetahuan. Paradigma itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata “Para” yang berarti isamping, di sebelah dan dikenal, sedangkan diegma berarti berarti suatu model, teladan, arketif dan ideal. Jadi secara etimologi arti paradigma adalah satu model dalam teori ilmu pengetahuan atau kerangka pikir. Sedangkan secara terminologis arti paradigma adalah konstruk berpikir berdasarkan pandangan yang menyeluruh dan konseptual terhadap suatu permasalahan dengan menggunakan teori formal, eksperimentasi dan metode keilmuan yang terpecaya.
2.1.2 Pengertian Revolusi
Revolusi adalah proses menjebol tatanan lama sampai ke akar-akarnya, kemudian menggantinya dengan tatanan yang baru sama sekali. Pada saat masyarakat terbagi kedalam dua kelompok, yang satu berusaha mempertahankan konstelasi kelembagaan yang lama dan yang lain berupaya mendirikan yang baru. Dan jika polarisasi itu terjadi, maka penyelesaian secara politis gagal. Karena mereka berselisih tentang matrik kelembagaan tempat mencapai dan menilai perubahan politik, karena tidak ada supraintitusional yang diakui oleh mereka untuk mengadili perselisihan revolusioner ini menggunakan bantuan tehnik-tehnik persuasi massa, seringkali dengan melibatkan kekuatan. Meskipun revolusi mempunyai peran yang vital dalam evolusi lembaga-lembaga politik, peran ini bergantung pada apakah revolusi itu merupakan peristiwa yang sebagian ekstrapolitis dan ekstraintitusional. 

dalam pemilihan paradigma tidak ada standar yang lebih tinggi daripada persetujuan masyarakat yang bersangkutan. Untuk menyingkapkan bagaimana revolusi sains dipengaruhi, kita tidak hanya harus meneliti dampak sifat dan dampak logika, tetapi juga tehnik-tehnik argumentasi persuasif dan efektif didalam kelompok-kelompok yang sangat khusus yang membentuk masyarakat sains itu. Sesuatu yang bahkan lebih fundamental daripada standar-standar dan nilai-nilai, bagaimanapun juga dipertaruhkan. 

2.1.3 Pengertian Sains atau Ilmu Pengetahuan
Pengertian ilmu menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut :
Ashley Montagu menyebutkan bahwa “Science is a systemized knowledge services form observation, study, and experiment carried on under determine the nature of principles of what being studied.” (ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang disusun dalam suatu system yang berasal dari pengamatan, studi dan pengalaman untuk menentukan hakikat dan prinsip hal yang sedang dipelajari). 

Harold H. Titus mendefinisikan “Ilmu (Science) diartikan sebagai common sense yang diatur dan diorganisasikan, mengadakan pendekatan terhadap benda-benda atau peristiwa-peristiwa dengan menggunakan metode-metode observasi yang teliti dan kritis). 

Jadi Paradigma Revolusi Sains adalah Perubahan mendasar yang merupakan episode perkembangan non-kumulatif, dimana paradigma lama diganti sebagian atau seluruhnya oleh paradigma baru yang ber-tentangan, karena adanya fakta-fakta ilmiah yang tidak sesuai dengan kenyataan.

2.2 Siklus Paradigma Revolusi Sains 
Istilah paradigma menjadi begitu popular setelah diintroduksikan oleh ThomasKuhn melalui bukunya The Structure of Scientific Revolution yang membicarakan tentang Filsafat Sains. Khun menjelaskan bahwa Paradigma merupakan suatu cara pandang, nilai-nilai, metode-metode,prinsip dasar atau memecahkan sesuatu masalah yang dianut oleh suatu masyarakatilmiah pada suatu tertentu. Apabila suatu cara pandang tertentu mendapat tantangan dari luar atau mengalami krisis (“anomalies”), kepercayaan terhadap cara pandang tersebut menjadi luntur, dan cara pandang yang demikian menjadi kurang berwibawa,pada saat itulah menjadi pertanda telah terjadi pergeseran paradigma. Untuk lebih jelasnya berikut diuraikan siklus revolusi sains menurut Kuhn adalah: Paradigma awal, Normal Sains, Anomali, Krisis, Revolusi Sains, Paradigma Baru

2.2.1 Paradigma Awal
Paradigma pada saat pertama kali muncul itu sifatnya masih sangat terbatas, baik dalam cakupan maupun ketepatannya. Paradigma memperoleh statusnya karena lebih berhasil dari pada saingannya dalam memecahkan masalah yang mulai diakui oleh kelompok ilmuwan bahwa masalah-masalah itu rawan, maka ilmuwan dalam hal ini bersaing mengumpulkan fakta tanpa menghiraukan kaidah-kaidah teoritisnya. Pada tahap ini terdapat sejumlah aliran yang saling bersaing, tetapi tidak ada satupun aliran yang memperoleh penerimaan secara umum. Namun perlahan-lahan salah satu sistem yang teoritikal mulai memperoleh penerimaan secara umum dan dengan itu paradigma pertama sebuah disiplin terbentuk, dan dengan terbentuknya paradigma itu kegiatan ilmiah sebuah disiplin memasuki periode Normal Sains.

Konsep sentral Kuhn adalah apa yang dinamakan dengan paradigma. Istilah ini tidak dijelaskan secara konsisten, sehingga dalam berbagai keterangannya sering berubah konteks dan arti. Pemilihan kata ini erat kaitannya dengan sains normal, yang oleh Kuhn di maksudkan untuk mengemukakan bahwa beberapa contoh praktik ilmiah nyata yang diterima (yaitu contoh-contoh yang bersama-sama mencakup dalil, teori, penerapan dan instrumentasi) menyajikan model-model yang melahirkan tradisi-tradisi padu tertentu dari riset ilmiah. Atau ia dimaksudkan sebagai kerangka referensi yang mendasari sejumlah teori maupun praktik-praktik ilmiah dalam periode tertentu.

Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal, di mana ilmuwan berkesempatan mengembangkan secara rinci dan mendalam, karena tidak sibuk dengan hal-hal yang mendasar. Dalam tahap ini ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang membimbing aktifitas ilmiahnya, dan selama menjalankan riset ini ilmuwan bisa menjumpai berbagai fenomena yang disebut anomali. Jika anomali ini kian menumpuk, maka bisa timbul krisis. Dalam krisis inilah paradigma mulai dipertanyakan. Dengan demikian sang ilmuwan sudah keluar dari sains normal. Untuk mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan sesuatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Jika yang terakhir ini terjadi, maka lahirlah revolusi ilmiah. 

Keberhasilan sebuah paradigma semisal analisis Aristoteles mengenai gerak, atau perhitungan Ptolemaeus tentang kedudukan planet, atau yang lainnya. Pada mulanya sebagian besar adalah janji akan keberhasilan yang dapat ditemukan contoh-contoh pilihan dan yang belum lengkap. Dan ini sifatnya masih terbatas serta ketepatannya masih dipertanyakan. Dalam perkembangan selanjutnya, secara dramatis, ketidak berhasilan teori Ptolemaeus betul-betul terungkap ketika muncul paradigma baru dari Copernicus. Ptolemeus mengatakan bahwa bumi tidak bergerak, matahari dan bintang-bintanglah yang bergerak mengelilingi bumi. Saat itu para tokoh agama dan dosen-dosen universitas di seluruh Italia mengganggap ajaran Aristoteles dan Ptolemeus adalah ajaran yang paling benar. Karena, mereka salah menafsirkan sepenggal ayat yang tedapat dalam Kitab Suci. Sementara itu, Galileo tetap mempertahankan teorinya dan mendukung teori Copernicus yang mengatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya. Akibatnya, ia ditangkap para tokoh agama, diadili, dan dijatuhi hukuman sebagai tahanan rumah. Galileo meninggal pada usia 78 tahun di Arcetri pada tanggal 8 Januari 1642 karena demam. Namun, meskipun demikian teori-teorinya tetap dipakai seluruh orang di dunia hingga kini.

Contoh Kasus Paradigma Awal
Contoh lain tentang hal ini adalah teori abiogenesis yang diungkapkan oleh Aristoteles dianggap sebagai paradigma karena saat itu ada sebagian ilmuan yang memang mendukung Teori Abiosgebesis. Tokoh teori Abiogenesis adalah Aristoteles (384-322 SM). Dia adalah seorang filosof dan tokoh ilmu pengetahuan Yunani Kuno. Teori Abiogenesis ini menyatakan bahwa makhluk hidup yang pertama kali menghuni bumi ini berasal dari benda mati. Sebenarnya Aristoteles mengetahui bahwa telur-telur ikan apabila menetas akan menjadi ikan yang sifatnya sama seperti induknya. Telur-telur tersebut merupakan hasil perkawinan dari induk-induk ikan. Walau demikian, Aristoteles berkeyakinan bahwa ada ikan yang berasal dari Lumpur.

Bagaimana cara terbentuknya makhluk tersebut ? Menurut pengzanut paham abiogenesis, makhluk hidup tersebut terjadi begitu saja atau secara spontan. Oleh sebab itu, paham atau teori abiogenesis ini disebut juga paham generation spontaneae. Jadi, kalau pengertian abiogenesis dan generation spontanea kita gabungkan, mak pendapat paham tersebut adalah makhluk hidup yang pertama kali di bumi tersebut dari benda mati / tak hidup yang terkjadinya secara spontan, misalnya :

  1. ikan dan katak berasal dari Lumpur.
  2. Cacing berasal dari tanah
  3. Belatung berasal dari daging yang membusuk.
Paham abiogenesis bertahan cukup lama, yaitu semenjak zaman Yunani Kuno (Ratusan Tahun Sebelum Masehi) hingga pertengahan abad ke-17. Pada pertengahan abad ke-17, Antonie Van Leeuwenhoek menemukan mikroskop sederhana yang dapat digunakan untuk mengamati benda-benda aneh yang amat kecil yang terdapat pada setetes air rendaman jerami. Oleh para pendukung paham abiogenesis, hasil pengamatan Antonie Van Leeuwenhoek ini seolah-olah memperkuat pendapat mereka tentang kevalaidan teori Abiogenesis. Pendukung lainnya yaitu Jhon Needham (kehidupan berasal dari kaldu), Van Helment (tikus berasal dari biji dan karung)

Transformasi-transformasi paradigma semacam ini adalah revolusi sains, dan transisi yang berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lainnya melalui revolusi, adalah pola perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang.

2.2.2 Normal Sains
Kuhn menyebut Normal Sains sebagai suatu kegiatan penelitian yang secara teguh berdasarkan satu atau lebih pencapaian ilmiah di masa lalu yakni pencapaian-pencapaian yang oleh komunitas ilmiah pada suatu masa dinyatakan sebagai pemberi landasan untuk praktek selanjutnya. Normal Sains memiliki dua esensi yakni: 

  1. Pencapaian ilmiah itu cukup baru sehingga menarik para praktisi ilmu dari berbagai aliran, menjalankan kegiatan ilmiah, maksudnya dihadapkan pada berbagai alternatif cara menjalankan kegiatan ilmiah. Sebagian besar praktisi ilmu cenderung untuk memilih dan mengacu pada pencapaian itu dalam menjalankan kegiatan ilmiah mereka.
  2. Pencapaian itu cukup terbuka sehingga masih terdapat berbagai masalah yang memeprlukan penyelesaian oleh praktisi ilmu dengan mengacu pada pencapaian-pencapaian itu. Kuhn berpendapat bahwa kemajuan ilmu itu pertama-tama bersifat revolusioner dan tidak bersifat evolusioner atau komulatif. 
Normal Sains bekerja berdasarkan paradigma yang dianut atau yang berlaku, oleh karena itu pada dasarnya penelitian normal tidak dimaksudkan untuk pembaharuan besar melainkan hanya untuk mengartikulasi paradigma itu. Kegiatan ilmiah Normal Sains hanya bertujuan untuk menambah lingkup dan presisi pada bidang-bidang yang terhadapnya oaradigma tersebut dapat diaplikasikan. Oleh karena itu, sebagai “an attempt to force nature into the performed and relatively inflexible box that the paradigm supplies”.Jadi Normal Sains adalah jenis kegiatan ilmiah yang sangat restriktif dan keuntungannya adalah bahwa kegiatan ilmiah yang demikian

itu akan semakin memberikan hasil yang mendalam. Para ilmuwan dalam Normal Sains biasanya bekerja dalam kerangka seperangkat aturan yang sudah dirumuskan secara jelas berdasarkan paradigm dalam bidang tertentu, sehingga pada dasarnya solusinya sudah dapat diantisipasi terlebih dahulu. Dengan demikian, kegiatan ilmiah dalam kerangka ilmu noprmal adalah seperti kegiatan “puzzle solving”. Implikasinya adalah bahwa kegagalan menghasilkan suatu solusi terhadap masalah tertentu lebih mencerminkan tingkat kemampuan ilmuwannya ketimbang sifat dari masalah yang bersangkutan atau metode yang digunakan.

Contoh Kasus Normal Sains “ Teori Abiogenesis”
Perkembangan sains yang terus berlangsung para ilmuan berusaha untuk memperoleh Normal Sains dari teori Abiogenesis tersebut yang sempat bertahan berabad-abad.

2.2.3 Anomali dan Munculnya Penemuan Baru
Walaupun Normal Sains itu adalah kegiatan komulatif (menambah pengetahuan) dalam bidang yang batas-batasnya ditentukan oleh paradigm tertentu, namun dalam perjalanan kegiatan dapat menimbulkan hasil yang tidak diharapkan. Maksudnya dalam kegiatan ilmiah itu dapat timbul penyimpangan, yang oleh Kuhn disebut anomali. Terbawa oleh sifatnya sendiri yakni oleh batasbatas yang ditetapkan oleh paradigma, Normal Sains akan mendorong para ilmuwan pemprakteknya menyadari adanya anomali, yakni hal baru atau pertanyaan yang tidak tercover atau terliputi oleh kerangka paradigma yang bersangkutan yang tidak terantisipasi berdasarkan paradigma yang menjadi acuan kegiatan ilmiah. Adanya anomali ini merupakan prasyarat bagi penemuan baru yang akhirnya dapat mengakibatkan perubahan paradigma. Mengenali dan mengakui adanya anomali memerlukan waktu yang lama, dan biasanya terjadi resistensi terhadap anomali itu. Jika penemuan baru dapat menangani anomali tertentu, maka akan terjadi penyesuaian kecil pada paradigma. Penyesuaian yang demikian itu biasanya hanya mempengaruhi sekelompok spesialis yang bekerja dalam bidang khusus tertentu tempat pertama kali ditemukannya anomali itu. 

Tetapi dari waktu ke waktu sejumlah anomaly terjadi dalam lingkungan Normal Sains tertentu yang menciptakan semacam krisis sedemikian rupa sehingga kegiatan “puzzle solving” biasa tidak dapat dijalankan, hal ini dapat membawa akibat yang besar terhadap komunitas ilmiah yang bersangkutan. Adanya anomali yang krisis itu kemudian menyebabkan sikap para ilmuwan terhadap paradigma yang berlaku, berubah dan sesuai dengan itu sifat penelitian mereka juga berubah. Kesemuanya itu adalah “symptoms of a transitions from normal to extradinary research”. Extradinary research ini menciptakan pentas bagi kemungkinan berlangsungnya revolusi ilmiah yang menumbuhkan suatu paradigma baru berkenaan dengan akseptalibitasnya. Jika paradigma baru itu diterima oleh komunitas ilmiah, maka hal itu berarti bahwa paradigma terdahulu ditolak atau ditinggalkan. Paradigma yang baru akan diterima sebagai pengganti yang lama, jika paradigma baru itu mampu memberikan penyelesaian terhadap anomali yang ditemukan dan tidak terselesaikan dalam kerangka paradigma lama, memiliki lebih banyak prefisi kuantitatif dan dapat meramalkan fenomena baru, memiliki kualitas estetika tertentu atau didukung oleh sejumlah anggota komunitas yang berpengaruh. Diterimanya paradigma baru berarti terbentuk Normal Sains baru yang akan berkembang sampai terjadi lagi revolusi ilmiah. Demikianlah bahwa dalam dinamika kegiatan ilmiah, para ilmuwan dapat menyadari adanya peningkatan anomali yang penyelesaiannya menyimpang dari paradigma yang berlaku.

Anomali dan penyelesaiannya mulai dipandang sebagai eksemplar baru. Telaah terhadap lembaran baru ini mempunyai dampak umpan balik terhadap kerangka interpretasi paradigmatik. Asimilasi teori baru yang ditimbulkannya memerlukan rekonstruksi teori sebelumnya dan evaluasi ulang terhadap fakta sebelumnya dan dengan itu terjadilah “paradigm shifts” (pergantian paradigma). Perubahan paradigma itu menimbulkan berbagai perubahan dalam kegiatan ilmiah. Hal itu akan menimbulkan redefinisi ilmu yang bersangkutan. Beberapa masalah dinyatakan sebagai masalah yang termasuk dalam disiplin lain atau dinyatakan bukan masalah ilmiah lagi. Dengan demikian, yang sebelumnya dianggap bukan masalah atau hanya masalah kecil, kini menjadi masalah pokok. Standar dan kriteria untuk menentukan keabsahan masalah dan keabsahan solusi masalah dengan sendirinya juga berubah. Secara umum dapat dikatakan bahwa perubahan paradigma itu membawa transformasi dalam “ the scientific imagination” dan dengan itu juga terjadi “transformation of the world.

Dalam puzzle solving, para ilmuwan membuat percobaan dan mengadakan observasi yang bertujuan untuk memecahkan teka-teki, bukan mencari pembenaran. Bila paradigmanya tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan penting atau malah mengakibatkan konflik, maka suatu paradigma baru harus diciptakan. Dengan demikian kegiatan ilmiah selanjutnya diarahkan kepada penemuan paradigma baru, dan jika penemuan baru ini berhasil, maka akan terjadi perubahan besar dalam ilmu pengetahuan.

Penemuan baru bukanlah peristiwa-peristiwa yang tersaing, melainkan episode-episode yang diperluas dengan struktur yang berulang secara teratur. Penemuan diawali dengan kesadaran akan anomali, yakni dengan pengakuan bahwa alam dengan suatu cara, telah melanggar pengharapan yang didorong oleh paradigma yang menguasai sains yang normal. Kemudian ia berlanjut dengan eksplorasi yang sedikit banyak diperluas pada wilayah anomali. Dan ia hanya berakhir bila teori atau paradigma itu telah disesuaikan sehingga yang menyimpang itu menjadi sesuai dengan yang diharapkan. Jadi yang jelas, dalam penemuan baru harus ada penyesuaian antara fakta dengan teori yang baru.

Contoh Kasus Anomali Sains adalah Tentang “Teori Abiogenesis”

Dalam perkembangannya sebagian Ilmuan tidak merasa puas dan meragagukan kevalidan teori abiogenesis dan untuk menghilangkan keraguan tersebut sebagian ilmuan membuat percoban sendiri seperti Francesco Redi (Italia, 1626-1799) . Berikut percobaan yang dilakukan Francesco Redi.

Percobaan Francesco Redi ( 1626-1697)
Untuk menjawab keragu-raguannya terhadap paham abiogenesis, Francesco Redi mengadakan percobaan. Pada percobaannya Redi menggunakan bahan tiga kerat daging dan tiga toples. Percobaan Redi selengkapnya adalah sebagai berikut :
  • Stoples I : diisi dengan sekerat daging, kemudian ditutup rapat-rapat.
  • Stoples II :diisi dengan sekerat daging, kemudian ditutup dengan kain kasa
  • Stoples III : disi dengan sekerat daging,kemudian dibiarkan tetap terbuka.
Selanjutnya ketiga stoples tersebut diletakkan pada tempat yang aman. Setelah beberapa hari, keadaan daging dalam ketiga stoples tersebut diamati. Dan hasilnya sebagai berikut:

  • Stoples I : daging tidak busuk dan pada daging ini tidak ditemukan jentik / larva atau belatung lalat.
  • Stoples II : Daging tampak membusuk tetapi belatungnya relative sedikit dari pada diatas kain kasa penutup
  • Stoples III : daging tampak membusuk dan didalamnya ditemukan banyak larva atau belatung lalat.
Berdasarkan hasil percobaan tersebut, Francesco redi menyimpulkan bahwa larva atau belatung yang terdapat dalam daging busuk di stoples II dan III bukan terbentuk dari daging yang membusuk, tetapi berasal dari telur lalat yang ditinggal pada daging ini ketika lalat tersebut hinggap disitu. Hal ini akan lebih jelas lagi, apabila melihat keadaan pada stoples II, yang tertutup kain kasa. Pada kain kasa penutupnya ditemukan lebih banyak belatung, tetapi pada dagingnya yang membusuk belatung relative sedikit.

2.2.4 Krisis Sains
Perubahan yang melibatkan penemuan-penemuan ini semuannya destruktif dan sekaligus konstruktif. Namun penemuan atau bukan, satu-satunya sumber paradigma destruktif – kostruktif ini berubah. Kita akan mulai meninjau perubahan yang serupa, tetapi biasanya lebih luas, yang disebabkan oleh penciptaan teori-teori baru. Kita asumsikan bahwa krisis merupakan prakondisi yang diperlukan dan penting bagi munculnya teori-teori baru. Meskipun mereka mungkin kehilangan kepercayaan dan kemudian mempertimbangkan alternatif-alternatif, mereka tidak meninggalkan paradigma yang telah membawa mereka kedalam krisis. Artinya mereka tidak melakukan anomali-anomali sebagai kasus pengganti meskipun dalam perbendaharaan kata filsafat sains demikian adanya.

Akan tetapi, ini memang berarti-apa yang akhirnya akan menjadi masalah pokok – bahwa tindakan mempertimbangkan yang mengakibatkan para ilmuwan menolak teori yang semula diterima itu selalu didasarkan atas lebih daripada perbandingan teori itu dengan dunia. Putusan untuk menolak sebuah paradigma selalu sekaligus merupakan putusan untuk menerima yang lain, dan pertimbangan yang mengakibatkan putusan itu melibatkan perbandingan paradigma-paradigma dengan alam maupun satu sama lain. Sains yang normal berupaya dan harus secara berkesinambungan berupaya membawa teori dan fakta kepada kesesuaian yang lebih dekat, dan kegiatan itu dapat dengan mudah dilihat sebagai penguji atau pencari pengukuhan dan falsifikasi. Ini berarti bahwa jika suatu anomali akan menimbulkan krisis, biasanya harus lebih daripada sekadar sebuah anomali. Selalu ada kesulitan dalam kecocokan paradigma alam; kebanyakan diantara cepat atau lambat diluruskan, seringkali dengan proses-proses yang mungkin tidak diramalkan. Kadang-kadang sains yang normal akhirnya ternyata mampu menangani masalah yang membangkitkan krisis meskipun ada keputusan pada mereka yang melihatnya sebagai akhir dari suatu paradigma yang ada. 

Transisi dari paradigma dalam krisis kepada paradigma baru yang daripadanya dapat muncul dari tradisi baru sains yang normal itu jauh dari proses kumulatif yang dicapai dengan artikulasi atau perluasan paradigma yang lama. antisipasi sebelumnya bisa membantu kita mengenal krisis sebagai pendahuluan yang tepat bagi munculnya teori-teori baru, terutama karena kita telah meneliti versi kecil-kecilan dari proses yang sama dalam membahas munculnya sebuah penemuan. Paradigma baru sering muncul, setidak-tidaknya sebagai embrio, sebelum krisis berkembang jauh atau telah diakui dengan tegas. Bertambah banyaknya artikulasi yang bersaingan, kesediaan untuk mencoba apapun, pengungkapan ketidakpuasan yang nyata, semuannya merupakan gejala transisi dari riset yang normal kepada riset istimewa. Gagasan sains yang normal lebih bergantung eksistensi semua ini ketimbang pada revolusi-revolusi.

2.2.5 Revolusi Sains
Kemudian revolusi sains muncul karena adanya anomali dalam riset ilmiah yang makin parah dan munculnya krisis yang tidak dapat diselesaikan oleh paradigma lama yang menjadi referensi riset. Untuk mengatasi krisis, ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan sesuatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Jika yang terakhir ini terjadi, maka lahirlah revolusi sains. 

Revolusi sains merupakan episode perkembangan non-kumulatif, dimana paradigma lama diganti sebagian atau seluruhnya oleh paradigma baru yang ber-tentangan. Transformasi-transformasi paradigma yang berurutan dari paradigma yang satu ke paradigma yang lainnya melalui revolusi, adalah pola perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang. Jalan revolusi sains menuju sains normal bukanlah jalan bebas hambatan 

Selama revolusi, para ilmuwan melihat hal-hal yang baru dan berbeda ketika menggunakan instrumen-instrumen yang sangat dikenal untuk melihat tempat-tempat yang pernah dilihatnya. Seakan-akan masyarakat profesional itu tiba-tiba dipindahkan ke daerah lain di mana obyek-obyek yang sangat dikenal sebelumnya tampak dalam penerangan yang berbeda, berbaur dengan obyek-obyek yang tidak dikenal. Ilmuwan yang tidak mau menerima paradigma baru sebagai landasan risetnya, dan tetap bertahan pada paradigma yang telah dibongkar dan sudah tidak mendapat dukungan dari mayoritas masyarakat sains, maka aktivitas risetnya tidak berguna sama sekali.

Revolusi sains di sini dianggap sebagai episode perkembangan non-kumulatif yang di dalamnya paradigma yang lama diganti sebagian atau seluruhnya oleh paradigma baru yang bertentangan. Adanya revolusi sains bukan merupakan hal yang berjalan dengan mulus tanpa hambatan. Sebagian ilmuwan atau masyarakat sains tertentu ada kalanya tidak mau menerima paradigma baru. Dan ini menimbulkan masalah sendiri yang memerlukan pemilihan dan legitimasi paradigma yang lebih definitif.

Dalam pemilihan paradigma tidak ada standar yang lebih tinggi dari pada persetujuan masyarakat yang bersangkutan. Untuk menyingkapkan bagaimana revolusi sains itu dipengaruhi, kita tidak hanya harus meneliti dampak sifat dan dampak logika, tetapi juga teknik-teknik argumentasi persuasif yang efektif di dalam kelompok-kelompok yang sangat khusus yang membentuk masyarakat sains itu. Oleh karena itu permasalahan paradigma sebagai akibat dari revolusi sains, hanyalah sebuah konsensus yang sangat ditentukan oleh retorika di kalangan akademisi dan atau masyarakat sains itu sendiri. Semakin paradigma baru itu diterima oleh mayoritas masyarakat sains, maka revolusi sains kian dapat terwujud.

Selama revolusi, para ilmuwan melihat hal-hal yang baru dan berbeda dengan ketika menggunakan instrumen-instrumen yang sangat dikenal untuk melihat tempat-tempat yang pernah dilihatnya. Seakan-akan masyarakat profesional itu tiba-tiba dipindahkan ke daerah lain di mana obyek-obyek yang sangat dikenal sebelumnya tampak dalam penerangan yang berbeda dan juga berbaur dengan obyek-obyek yang tidak dikenal

Kalaupun ada ilmuwan yang tidak mau menerima paradigma baru sebagai landasan risetnya, dan ia tetap bertahan pada paradigma yang telah dibongkar dan sudah tidak mendapat dukungan lagi dari mayoritas masyarakat sains, maka aktivitas-aktivitas risetnya hanya merupakan tautologi, yang tidak berguna sama sekali.

Contoh Kasus Revolusi tentang “Teori Abiogenesis”

Untuk mengatasi dari krisis yang berkepanjangan tersebut, para ilmuan kembali mencari kevalidan. Ilmuwan yang tidak mendapat kepuasan tentang pemahaman kehidupan dari berasal benda mati ataupun dari mahluk hidup. Ilmuan mencari kevalidan tersebut dengan menggunakan cara-cara lama dan mengembangkan paradigma yang menjadi tandingannya. Dan berupaya memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Dengan hasil temuannya dapat suatu kesimpulan bahwa Kehidupan berasal dari benda hidup (makhluk hidup) bersel satu yang berkembang menjadi makhluk hidup yang lebih kompleks (evolusi biologi), dan mahluk bersel satu tersebut terbentuk oleh evolusi kimia. Unsure-unsur yang terkandung dalam makhluk hidup (bahan organic; asam amino, lipid, dll) persis sama dengan apa yang terdapat dialam yang telah mengalami evolusi kimia. Pendapat evolusi kimia ini banyak pendukungnya karena lebih logis dan dpat diuji secara eksperimental. Pada masa ini terjadi revolusi, paham yang menyatakan bahwa kehidupan berasal dari benda mati (kaldu, jerami, dll) kevalidan sudah berkurang dan banyak ilmuan lebih menyetujui bahwa kehidupan berasal dari benda hidup.

2.2.6 Paradigma Baru
Sebagian ilmuwan atau masyarakat sains tertentu ada kalanya tidak mau menerima paradigma baru dan ini menimbulkan masalah sendiri. Dalam pemilihan paradigma tidak ada standar yang lebih tinggi dari pada persetujuan masyarakat yang bersangkutan. Untuk menyingkap bagaimana revolusi sains itu dipengaruhi, kita harus meneliti dampak sifat dan dampak logika juga teknik-teknik argumentasi persuasif yang efektif di dalam kelompok-kelompok yang membentuk masyarakat sains itu. Oleh karena itu per-masalahan paradigma sebagai akibat dari revolusi sains, hanya sebuah konsensus yang sangat ditentukan oleh retorika di kalangan masyarakat sains itu sendiri. Semakin paradigma baru itu diterima oleh mayoritas masyarakat sains, maka revolusi sains kian dapat terwujud. 

Kesemuanya itu dimulai dengan adanya “paradigma”. Menurutnya ilmu yang sudah matang, dikuasai oleh suatu paradigma tunggal. Paradigma ini berfungsi sebagai pembimbing kegiatan ilmiah dalam masa Normal Sains yang mana ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan paradigma secara rinci dan mendalam karena tidak sibuk dengan hal-hal yang mendasar. Paradigma diterima oleh suatu kelompok masyarakat ilmiah jika paradigma itu mewakili karya yang telah dilakukannya. Paradigma Baru memperoleh status karena:

  1. Berhasil memecahkan masalah-masalah dalam praktek
  2. Memperluas pengetahuan tentang fakta-fakta yang oleh paradigma diperlihatkan sebagai pembuka pikiran
Jadi dengan menggunakan istilah paradigma itu, Kuhn hendak menunjuk sejumlah contoh praktek ilmiah aktual yang diterima atau diakui di lingkungan komunitas ilmiah, menyajikan model-model yang mendasarkan lahirnya tradisi ilmiah yang terpadu. Contoh praktek ini mencakup dalil-dalil, teori penerapan dan instrumentasi. Dengan demikian para ilmuwan yang penelitiannya didasarkan pada paradigma yang sama yang pada dasarnya terikat pada aturan dan standar yang sama pula dalam mengemban ilmunya. Keterikatan pada aturan dan standar ini adalah prasyarat bagi adanya Normal Sains. Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa paradigma itu adalah gejala atau cara pandang atau kerangka berpikir yang mendasarkan fakta atau gejala disinterpretasi dan dipahami. Hanya masalah yang memenuhi kriteria yang diderifiasi dari paradigma saja yang dapat disebut masalah ilmiah yang layak digarap oleh ilmuwan. Dengan demikian maka paradigma menjadi sumber keterpaduan bagi tradisi penelitian yang normal. Aturan penelitian diderivasi dari paradigma namun menurut Kuhn, tanpa adanya aturan ini paradigma saja sudah cukup untuk membimbing penelitian. Jadi ilmuwan normal sebenarnya,tidak terlalu memerlukan aturan atau metode yang standar (yang disepakati oleh komunitas ilmiah.

SUMBER;

Defenisi Kaligrafi

Pengertian Kaligrafi
Kata kaligrafi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata kalio (kallos) berarti indah dan graphia (graphẽ) yang artinya tulisan. Kaligrafi merupakan tulisan indah yang dihasilkan oleh tangan. Secara umum kaligrafi dapat diartikan sebagai tulisan yang indah. Dalam bahasa Inggris, kaligrafi disebut dengan calligraphy dan dalam bahasa Arab disebut dengan khat. 
Kaligrafi atau dapat diartikan seni menulis indah, terbagi menjadi tiga jenis yaitu kaligrafi huruf latin atau Roman, kaligrafi Arab dan kaligrafi Oriental (China, Jepang, Korea). Dalam alam lingkup kebudayaan, kaligrafi dapat dilihat melalui dua aspek yaitu sisi kaligrafi sebagai aksara yang menjadi simbol penulisan huruf atau kata, dan aspek kedua adalah keberadaannya sebagai hasil dari proses estetika. Aspek pertama berarti kaligrafi berfungsi sebagai tulisan pada umumnya yang menampung gagasan dari penulisnya. Aspek kedua berarti kaligrafi berkaitan dengan estetika atau keindahan.
Kaligrafi dibagi menjadi 2 wilayah besar yaitu Timur (eastern) yang meliputi Asia Barat/Timur Tengah (Arab) dan Asia Timur/oriental (China dan Jepang) serta wilayah Barat (western) yang meliputi Eropa dan Amerika. 

Bagan pembagian wilayah besar penyebaran Kaligrafi di dunia
Di kebudayaan Timur, kaligrafi adalah salah satu bentuk seni yang mempunyai nilai tradisi tinggi, membutuhkan pelatihan dan disiplin tinggi yang memerlukan waktu lama untuk berhasil menguasainya. Usia dari tradisi kaligrafi Timur ini sudah berabad-abad yang lalu. Berbeda dengan di Barat, menulis dengan tangan tidak menempati tataran yang tinggi seperti di Timur. Tradisi menulis indah telah dikalahkan oleh pengenalan komputer sejak dini. Sehingga tradisi menulis dengan indah hanya sedikit sekali yang menekuninya. Berikut ini beberapa contoh kaligrafi dari wilayah Timur (eastern) dan wilayah Barat (western):

1. Kaligrafi di wilayah Timur
2. Kaligrafi di wilayah Barat

2.2.2 Seni Lukis Kaligrafi Islam
Kaligrafi di wilayah Timur (eastern) perkembangannya lebih pesat dibanding dengan wilayah Barat (western). Ada tiga jenis kaligrafi yang menonjol di dunia, yaitu kaligrafi Islam/Arab, kaligrafi Cina dan kaligrafi Jepang. Namun yang paling menonjol dan berkembang adalah kaligrafi Islam/Arab. 

Kaligrafi Islam/Arab ini diciptakan dan dikembangkan oleh kaum Muslim sejak kedatangan Islam, kemudian berkembang pesat sejak bangsa Arab memeluk agama Islam. Dapat dikatakan bahwa kaligrafi berkembang bersamaan dengan mulai dikenalnya huruf. Pada tahun 3.500 SM, orang Mesir menciptakan Hieroglyphics yang berarti simbol-simbol berupa gambar yang berfungsi menyerupai huruf. 

Kaligrafi merupakan tulisan tangan yang indah sebagai hiasan. Definisi kaligrafi semacam itu sangatlah umum, maka kaligrafi dipersempit lingkupnya menjadi kaligrafi Islam. Sekilas kaligrafi Arab juga tepat, namun apabila diteliti lebih dalam, ternyata Arab tidak identik dengan Islam. Kaligrafi Islam merupakan bahasa yang paling tepat untuk mengidentikkan kaligrafi dengan Islam. Kaligrafi Islam menggunakan bahasa Arab. Sebagai bahasa yang memiliki karakter huruf yang lentur dan artistik, huruf Arab menjadi bahan yang sangat kaya untuk penulisan kaligrafi. 

Kaligrafi Islam sangat berkaitan dengan Al-Qur’an dan Hadist, karena sebagian besar tulisan indah dalam bahasa Arab menampilkan ayat-ayat Al-Qur’an atau Hadist Nabi Muhammad SAW. 

Berhubungan dengan perspektif kaligrafi sebagai huruf yang menjadi simbol penulisan atau kata, maka perlu diketahui terlebih dahulu fungsi dari huruf atau aksra itu sendiri. Secara sederhana ada tiga fungsi aksara. Pertama fungsi spiritual, kedua fungsi praktis, dan yang ketiga fungsi estetis. 

Pada fungsi spiritual, huruf diperlakukan sebagai benda sakral. Seperti diketahui bahwa pada awal kelahirannya yang mempunyai wewenang untuk mempergunakan tulisan hanya komunitas tertentu saja. Di India misalnya, pada masa kekastaan masih ketat dijalankan, aksara hanya boleh dipergunakan oleh Kasta Brahmana dan Kasta Ksatria saja. Anggapan suci terhadap huruf ini terdapat dalam berbagai agama dan kepercayaan. Sebagai benda sakral, wujud huruf adalah media untuk menyatukan diri dengan Yang Maha Kuasa. 

Fungsi yang kedua dari aksara adalah fungsi praktis. Disini aksara diperlakukan sebagai alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi tentu saja mempunyai persyaratan yaitu mudah untuk dibaca. Walaupun ada persyaratan seperti itu, namun karena manusia tidaklah lepas dari keinginan untuk membubuhkan segi estetis. Unsur inilah yang melahirkan berbagai gaya dalam tulisan. Dan inilah sebenarnya yang dinamakan kaligrafi murni, dimana tulisan indah yang dibuat sesuai dengan kaidah baku. 

Persyaratan mudah dibaca tergeser oleh dominasi fungsi ketiga dari aksara, yaitu segi estetis. Berbeda dengan tulisan kaidah baku (kaligrafi murni), maka dalam lukisan kaligrafi, dominasi segi estetis melebihi kebutuhan akan keterbacaan, bahkan ada yang lepas sama sekali dari kaidah dan fungsi huruf sebagai alat komunikasi. 

Kaligrafi Islam memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan seni rupa di dunia. Sir Thomas Arnold dan Alfred Guillaume, dalam buku The Legacy of Islam yang terbit untuk pertama kali pada tahun 1931 (Abay D Subarna, 2007) menjelaskan bahwa kaligrafi pada arsitektur Islam banyak mempengaruhi inskripsi pada sejumlah gereja. 

2.2 Seniman Kaligrafi Islam 
2.2.1 Biodata Seniman
Mustafa Abdulgani, lahir di Bandung pada tanggal 5 Juni 1956 dari keluarga seniman, orang tua Pelukis Batik Pekalongan dan Seniman Musik Tradisional Sunda. Semasa kecil sudah ada bakat melukis, suka menggambar dinding-dinding rumah, sekolah dan toko-toko dengan coretan ekspresi anak. Pada tahun 1976, mulai menekuni melukis dengan belajar sendiri (otodidak) hanya bermodalkan bakat seni yang ada pada dirinya, diawali dengan melukis lukisan realis dan naturalis. 

Tahun 1977 menjadi pelukis jalanan di Alun-Alun Bandung, Setahun kemudian di umurnya yang masih 22 tahun mulai melukis poster film layar lebar sebagai media informasi di bioskop-bioskop kota Bandung, seperti Nusantara, Aneka, Elita dan Majesty (sekarang gedung AACC). Bidang gambar yang digunakan untuk melukis poster film adalah kain dan cat tembok sebagai pewarnanya.

Tahun 1980 mulai melukis lukisan dekoratif, kemudian berkembang menjadi lukisan kaligrafi Islam. Mustafa Abdul Gani mulai memasarkan karyanya ke Jakarta sebagai pasar utama, kemudian mulai masuk pasar Bandung di jalan Braga, Pulau Sumatra dan sekarang karya lukisannya sudah tesebar ke Manca Negara diantaranya Malaysia, Singapura bahkan Amerika Serikat. Kaligrafer asal Bandung ini memilih rumah tinggalnya sebagai tempat untuk berkarya, Rinjani Serenata Fine Art Gallery Bandung nama dari galeri milik pribadinya, yang berlokasi di Jl. Nyengseret Utara No. 269/198 B RT. 04/02 Bandung. 

Dengan ciri khas yang dimilikinya yaitu Kubisme, dan kemampuan mengolah setiap objek disekitarnya kemudian dengan daya imajinasi dan bakat seni yang kuat dapat menghasilkan lukisan yang sangat indah. Selain itu lukisannya memiliki tekstur yang diaplikasikan menggunakan pasir laut, lem, aqua proof, kayu, batu, dan lain sebagainya sehingga lukisan terlihat semakin nyata, tidak hanya dalam bentuk 2 dimensi tetapi juga 3 dimensi. Alat yang digunakan untuk melukis diantaranya kuas, roll dan palet/pisau. Melukis di bidang kanvas berwarna putih, sementara itu jenis cat yang digunakan adalah cat akrilik dengan berbagai macam warna. 

2.2.2 Lukisan Kaligrafi Islam Karya Mustafa Abdul Gani
2.3 Definisi Fotografi
Foto seringkali menjadi semacam “monumen” kenangan bagi. Tempat mengabadikan berbagai peristiwa penting dan pemandangan - pemandangan yang berkesan (Bayu Tapa Brata, 2007). Berbicara mengenai foto, tak akan lepas dari aktivitas memotret. Sementara memotret adalah satu langkah kerja dalam bidang fotografi. Fotografi sendiri adalah suatu bentuk seni rupa dengan asas dasarnya yaitu melukis. Berbeda dengan lukisan biasa, komponen utama yang digunakan dalam fotografi adalah cahaya.

Dalam kamus bahasa Indonesia, pengertian fotografi adalah seni atau proses penghasilan gambar dan cahaya pada film. Secara sederhana fotografi dapat diartikan “melukis dengan cahaya”. Tentunya hal tersebut berasal dari kata fotografi itu sendiri, yaitu berasal dari bahasa Yunani, photos (cahaya) dan graphos (tulisan). Dalam pengertian lain,fotografi adalah proses pembuatan lukisan dengan menggunakan komponen cahaya. Maka fotografi berarti proses atau metode untuk menghasilkan gambar yang disebut foto dari suatu obyek dengan merekam citra pantulan cahaya (atau sumber cahaya itu sendiri) yang mengenai obyek tersebut pada media yang peka cahaya. Alat untuk menangkap cahaya ini adalah kamera.

Melihat pengertian tersebut terlihat ada persamaan antara fotografi dan karya seni lukis atau menggambar. Perbedaannya terletak pada media yang digunakannya. Bila dalam seni lukis yang dipakai menggambar dengan menggunakan media warna (cat), kuas dan kanvas. Sedangkan dalam fotografi menggunakan cahaya yang dihasilkan melalui kamera. Tanpa adanya cahaya yang masuk dan terekam di dalam kamera, sebuah karya seni fotografi tidak akan tercipta. 

Selain itu, adanya film yang terletak di dalam kamera menjadi media penyimpanan cahaya tersebut. Film yang berfungsi untuk merekam gambar terdiri dari lapisan tipis. Lapisan itu mengandung emulsi peka di atas dasar yang fleksibel dan transparan. Emulsi mengandung zat perak halide, yaitu suatu senyawa kimia yang peka cahaya yang menjadi gelap jika terekspos oleh cahaya. Ketika film secara selektif terkena cahaya yang cukup maka sebuah gambar tersembuyi akan terbentuk. Tentunya gambar tersebut akan terlihat jika film yang telah digulung ke dalam selongsongnya kemudian di cuci dengan proses khusus (Bayu Tapa Brata, 2007).

Aktivitas berkreasi dengan cahaya tersebut tentunya sangat berhubungan dengan pelakunya (subjek) dan objek yang akan direkam. Setiap pemotret mempunyai cara pandang yang berbeda tentang kondisi cuaca, pemandangan alam, tumbuhan, kehidupan hewan serta aktivitas manusia ketika melihatnya di balik lensa kamera. Cara memandang atau persepsi inilah yang kemudian direfleksikan lewat bidikan kamera. Hasilnya sebuah karya foto yang merupakan hasil ide atau konsep dari si pembuat foto. 

2.4 Esai Foto
Esai foto adalah serangkaian foto-foto yang menggambarkan berbagai aspek dari suatu masalah yang dikupas secara mendalam dan diartikan sebagai rangkaian dari cerita atau nyata yang digambarkan melalui foto secara berurutan atau bercerita (Iskandar, 2007). Yang membedakan esai tulisan dari esai foto adalah media penyampainnya. Apabila dalam esai foto terdapat tulisan, kehadirannya sebagai pelengkap yang membingkai tema serta sebagai keterangan mengenai hal –hal yang tidak terungkap secara mendetail dalam foto. 

Esai foto dilakukan untuk menggambarkan runtutan kejadian yang terjadi atau dengan kata lain memindahkan sebuah kejadian kedalam ruang dua dimensi dalam bentuk foto, dengan tidak melepaskan unsur ruang dan waktu. 

2.5 Fotografi dalam Aspek Komunikasi
2.5.1 Konsep Komunikasi Visual
Foto selalu menarik untuk dilihat atau diamati. Selain lebih mudah diingat dibandingkan tulisan, sebuah foto mempunyai nilai dokumentasi yang tinggi karena mampu merekam sesuatu yang tidak mungkin terulang kembali, seperti tentang cerita pribadi, keluarga, keindahan alam, atau peristiwa seni budaya. Melalui foto juga, seseorang dapat terpikat pada suatu objek, produk, olahraga, makanan, minuman, sampai hasil industri. Oleh karena itu lahirlah ungkapan “foto mampu berbicara lebih dari seribu kata”.

Berdasarkan klasifikasi yang dibuat oleh Thomas Murno, fotografi dapat dimasukkan sebagai cabang seni rupa (visual art), seni yang hanya bisa dirasakan melalui indera penglihatan maanusia. Dengan kata lain, fotografi merupakan bagian kegiatan penyampaian pesan secara visual dari pengalaman yang dimiliki/ fotografer kepada orang lain dengan tujuan orang lain mengikuti jalan pikirannya. Agar tercapai proses penyampaian pesan ini maka harus melalui beberpa persyaratan komunikasi yang baik, yaitu dengan konsep AIDA yang meliputi:

1. Attention (menimbulkan perhatian)
Sebuah karya foto pertama-tama harus mampu mendapatkan perhatian orang untuk melihatnya. Tanpa proses ini, sebuah pesan dari karya foto maupun karya seni lainnya akan berhenti disitu saja.

2. Interest (menimbulkan ketertarikan)
Kemudian setelah mampu mendapat perhatian orang maka karya foto harus mampu menimbulkan ketertarikan terhadap pesan yang akan disampaikan. 

3. Desire (menimbulkan keinginan/hasrat)
Setelah orang tertarik pada karya foto yang dibuat, maka dari situ proses tetap berlangsung dengan timbulnya keinginan untuk mengetahui lebih jauh pesan yang disampaikan. 

4. Action (menimbulkan tindakan)
Proses terakhir adalah dengan timbunya tindakan seperti yang diharapkan oleh seniman/ fotografer sesuai pesan yang disampaikannya. 

Tujuan berkomunikasi melalui fotografi adalah untuk menciptakan gambar yang memiliki bahasa visual, yaitu yang dapat mengutarakan maksud, pesan dan gagasan yang terbagi dalam enam bagian yaitu :
1. Bahasa Penampilan (Performance Language)
  • Bahasa ekspresi muka
  • Bahasa isyaratBahasa penciuman
  • Bahasa pendengaran
  • Bahasa tindakan yang terbagi dalam nyata dan tidak nyata
2. Bahasa Komposisi (Compotion Language)
  • Bahasa warna
  • Bahasa tekstur
  • Bahasa garis
  • Bahasa cahaya
  • Bahasa bentuk 
  • Bahasa tata letak
3. Bahasa Gerak (Motion Language)
  • Panning
  • Zooming
  • Exposure time
  • dMultiple Exposure
4. Bahasa Konteks (Contextual Language)
5. Bahasa Obyek (Object Language)
6. Bahasa Tanda (Sign Language)

sumber;